Saya sedang dalam proses penulisan cerpen untuk Bulan Bahasa, ketika berita yang cukup ngenas melintas di linimasa. Dan sungguh, jika ada suatu peristiwa yang mampu menghentikan saya menulis fiksi, lalu beralih ke opini, tentu peristiwa tersebut mengandung perkara serius, setidaknya bagi saya.
Begini.
Oknum Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang bernaung di tubuh GP (Gerakan Pemuda) Ansor, salah satu badan otonom NU, membakar bendera bertuliskan kalimat syahadatain dalam peringatan Hari Santri Nasional di Lapangan Alun-Alun Limbangan, Garut, pada Senin, 22 Oktober 2018.
Sejumlah media dan televisi swasta telah mengejar klarifikasi kepada Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, dan Ketua PP GP Ansor, Saiful Rahmat Dasuki, serta jajaran Muspida Garut.
Setidaknya, terdapat dua perkara yang tengah diusut, yaitu asal muasal bendera itu hadir di tengah-tengah peserta acara, dan motif di balik pembakarannya.
Selama dalam proses penyelidikan, segala keterangan masih dalam tataran spekulatif. Namun, beberapa skenario yang memungkinkan, antara lain:
1.) Ada oknum Banser yang sengaja membawa bendera tersebut sebagai aksi teatrikal "menjaga kesucian kalimat tauhid".
2.) Ada peserta acara yang membawa bendera tersebut, lantas diambil oleh Banser, dan dibakar, karena dianggap sebagai simbol HTI yang telah dilarang beraktivitas di Indonesia.
3.) Bendera tersebut ditemukan tercecer, lantas dibakar, agar tidak terkotori, terbuang, atau malah dikibarkan dengan potensi menimbulkan keresahan.
4.) Skenario berisi agenda lain yang hanya diketahui dan layak dibalas oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Keempatnya, akan menimbulkan reaksi dan pertanyaan lanjutan yang beragam. Karena itu, saya tidak akan membahas segala yang kurang pasti. Pun tidak ingin melangkahi pihak-pihak yang berwenang mengusut tuntas peristiwa ini.