Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Miss You] Kedatangan Nyonya Lily

22 Oktober 2018   05:38 Diperbarui: 22 Oktober 2018   06:04 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terbangun dengan kepala yang serasa dihantam gada. Pening. Kunang-kunang mengitari cermin dan jendela yang terasa asing.

Sudah lama aku tidak mengalami mimpi yang mengerikan. Bahkan kali ini, terasa begitu nyata dan mendebarkan.

Dengan ingatan samar, aku mengeja satu per satu komposisi mimpi semalam. Balairung megah, bau anyir yang menguar, kudapan daging para pria hidung belang, dan para perempuan.

Yang masih dapat terproyeksikan begitu jelas, di tengah-tengah perjamuan, seorang puan amat lantang membacakan kidung perih dengan suara serak bernada tinggi yang menyayat perasaan.

Kita, rahim yang bebas melepas kenangan dari anak-anak yang begitu cepat beranjak besar. Tidak ada laki-laki, selain dungu-dungu yang menggoyangkan ekornya setiap kali mendapat lirikan dari perempuan iblis yang punya nama seperti bunga.

Kita bukan lagi hamba dari sumur tua, nasi basi, wewangian, dan kopi yang sudah dingin. Karena perkara cinta, sudah remuk dalam kepompong yang kauinjak tanpa mau mengaku dosa.

Aku terentak. Kidung itu rasanya begitu menggaung. Suara yang akrab, dan telah lama aku kenali.

Apakah kegilaan malam tadi, benar-benar terjadi?

***

Mendung. Gelegar petir. Awal hari yang getir.

"Selamat pagi, Nyonya." Aku tersenyum pada Nyonya yang tampak lebih pucat dari biasa, sembari menata sarapan di atas meja tepi kamarnya.

Aku meraih vas. Tujuh mawar merah yang mulai menghitam, aku ganti dengan lima tangkai lili calla putih.

Nyonya tidak menjawab, larut dalam senyap. Di tepi jendela, matanya yang sembab berkelana entah ke mana. Muram, aroma rindu yang semerbak memenuhi atmosfer kamar.  

Aku termenung.

Ke mana perginya wajah segar penuh kepuasan itu? Jadi, aku benar-benar hanya bermimpi?

Belum sempat aku menanyakan kabar Nyonya lebih lanjut, terdengar dentang bel berkali-kali.

Ada tamu, aku bergegas menuju pintu depan.

"Nyonya ada?" Perempuan cantik yang memancarkan aura magis berdiri di depan pintu.

Bah, dia lagi! Sosok Elfat yang semalam menjadi salah satu peran utama dunia mistis, kini hadir utuh di hadapanku.

"Elfat." Aku bergumam.

"Hm, Elfat? Siapa?" Tanya perempuan itu dengan wajah bingung.

Eh. Aku gelagapan.

"Lily." Perempuan itu menyodorkan tangan dengan elegan. Ada kejanggalan yang enggan aku baca. Bukan Elfat?

Aku segera menyambut tangannya. "Ung ... saya En. Baru dua bulan kerja di sini. Ayo, Nyonya Lily. Silakan masuk."

Canggung, aku bergegas memberitahu Nyonya. Terulas seringai tipis di wajahnya tatkala mengetahui kehadiran perempuan itu.

Kakiku gemetar saat mengantar Lily ke kamar Nyonya dan meninggalkan mereka di sana. Keduanya tidak banyak berkata-kata, namun saling melempar senyum yang membuatku merinding luar biasa.

Aku beringsut pergi menyiapkan hidangan dengan pertanyaan yang bergelayutan. Mencari stok makanan ringan, sekaligus jawaban akan degup jantung yang sulit kukendalikan.

Dan, getaran dari dalam tubuhku makin menguat laiknya sengatan listrik ketika aku memasuki dapur.

Dari bawah kulkas, terlihat darah kehitaman menggenangi lantai. Kakiku lunglai, terduduk di kursi makan. Sekalipun punya Bapak tukang jagal, aku lemah melihat darah.

Cukup lama aku mematung, rahangku mengeras. Gemeretak gigi terdengar begitu kencang. Tanganku yang gemetar menggapai pintu kulkas.

Aku memicingkan mata, mengumpulkan nyali untuk melihat sumber masalah.

"Aaaaargh!" Aku berteriak kencang, mundur secara brutal hingga menjatuhkan kursi. Menimbulkan suara gedebukan.

Kepala seorang pria, tergolek mengenaskan di dalam kulkas. Separuh wajahnya hangus. Matanya membelalak, seperti memendam dendam yang menanti penebusan.

Aku merasa pernah melihatnya entah di mana. Tapi, siapa peduli identitasnya!

Insting liarku memacu untuk lari sekencangnya menuju kamar Nyonya. Mengetuk pintu kamar, tak ada jawaban. Kehilangan rasa hormat akibat ketakutan, aku menerobos masuk.

Kosong. Nyonya dan Lily tidak ada.

Jendela terbuka lebar, angin melambaikan gorden, dan menyelundupkan dedaunan kering.

Tidak! Apa yang harus aku lakukan?

Aku merogoh telepon genggam di dalam saku. Baru saja kunyalakan dan hendak menelepon pembantu sebelah rumah, aku kembali gamang.

Hari Rabu? Bukankah kemarin masih Sabtu?

Panik dan merasa dibodohi waktu, aku memeriksa koran yang baru saja kuantarkan kepada Nyonya.

Sistem termal dalam tubuhku seketika mengalami gangguan. Panas dan dingin, berganti-gantian.

Bukan hanya karena ini benar-benar hari Rabu. Tapi, sebuah headline yang menghiasi halaman depan turut membuatku terpana.

"Sang Detektif Hangus dan Terpenggal, Tersangka Pembunuhan Menghilang" 

Sebelum aku sanggup membaca seluruhnya, seseorang membekap mulutku dari belakang.

Dan, segalanya menjadi hitam.

... bersambung.

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 21 Oktober 2018

*Cerpen ini dibuat sembari mengusik rindu mereka: Lilik, Desol, Puteri.

Turut terkait dalam kisah: Elfat | En | Tuan Baron

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun