"Lily." Perempuan itu menyodorkan tangan dengan elegan. Ada kejanggalan yang enggan aku baca. Bukan Elfat?
Aku segera menyambut tangannya. "Ung ... saya En. Baru dua bulan kerja di sini. Ayo, Nyonya Lily. Silakan masuk."
Canggung, aku bergegas memberitahu Nyonya. Terulas seringai tipis di wajahnya tatkala mengetahui kehadiran perempuan itu.
Kakiku gemetar saat mengantar Lily ke kamar Nyonya dan meninggalkan mereka di sana. Keduanya tidak banyak berkata-kata, namun saling melempar senyum yang membuatku merinding luar biasa.
Aku beringsut pergi menyiapkan hidangan dengan pertanyaan yang bergelayutan. Mencari stok makanan ringan, sekaligus jawaban akan degup jantung yang sulit kukendalikan.
Dan, getaran dari dalam tubuhku makin menguat laiknya sengatan listrik ketika aku memasuki dapur.
Dari bawah kulkas, terlihat darah kehitaman menggenangi lantai. Kakiku lunglai, terduduk di kursi makan. Sekalipun punya Bapak tukang jagal, aku lemah melihat darah.
Cukup lama aku mematung, rahangku mengeras. Gemeretak gigi terdengar begitu kencang. Tanganku yang gemetar menggapai pintu kulkas.
Aku memicingkan mata, mengumpulkan nyali untuk melihat sumber masalah.
"Aaaaargh!" Aku berteriak kencang, mundur secara brutal hingga menjatuhkan kursi. Menimbulkan suara gedebukan.
Kepala seorang pria, tergolek mengenaskan di dalam kulkas. Separuh wajahnya hangus. Matanya membelalak, seperti memendam dendam yang menanti penebusan.