Aku gelagapan, tertunduk, lalu kembali bertopang dagu.
"Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Bukan dia yang mencari uang, bukan dia yang memberiku hadiah, buat apa sok-sok peduli!"
Aku mengangguk-angguk. Mengelus dada, memintanya bersabar. Hening mengatur napas, mulai menangis.
Cepat, aku mengeluarkan sapu tangan kuning, menyerahkan padanya. Belum sampai sapu tangan itu ke tangan Hening, benda itu menghilang lalu berganti dengan setangkai mawar berwarna serupa. Aku tersenyum, Hening juga.
"Aku tidak pernah tahu berapa umurmu. Apakah aku harus memanggilmu Kakak, atau Paman? Aku melihatmu sejak SMP."
Aku memegangi perut buatanku, menunjuk pipiku dengan telunjuk, meringis. Tanganku yang lain membentuk peace, berpose seperti remaja.
Hening tertawa. "Kau alay!" katanya.
Aku tertawa tanpa suara.
"Jika kelak kamu menikah, kamu pasti akan menjadi ayah yang sangat baik."
Aku membentuk hati dengan tanganku, meletakkannya di depan dada, tersenyum.
"Kenapa kau menangis?"