Aku mengangguk, memegang dada. Bungkusan pipih warna emas, lagi-lagi keluar dari sela-sela jari. Aku membelalakkan mata dengan mulut terbuka, menyerahkan sebungkus cokelat itu padanya.
"Aku sudah dapat bunga hari ini. Cokelat juga?"
Aku menggoyang-goyangkan kepala. Dia tersenyum, namun ada sedikit sendu yang tampak ingin meronta.
"Boleh aku duduk di sini saja? Aku ingin menemanimu menunggu senja. Aku tidak ingin ikut les hari ini. Suntuk."
Aku memegang dagu, berpikir, lalu menggeleng. Mengibaskan tangan, mengusirnya. Hening terlihat tidak senang.
"Ayolah! Sekali ini saja. Aku janji akan sampai di rumah secepatnya. Aku cuma ingin cerita sebentar!"
Aku termenung, tidak ingin dia mangkir dari les Matematika. Tapi, aku juga ingin sekali mendengar Hening bercerita. Terakhir kali, hanya soal kucingnya yang mati karena sudah terlalu tua.
Aku mengangguk pasrah, mengendikkan bahu. Mempersilakan Hening duduk di kursi taman. Sementara aku, duduk bersila di hadapannya, beralaskan rerumputan. Nila di langit makin lebur menjadi merah yang begitu muram. Awan-awan kelabu berarak datang.
"Kenapa duduk di bawah. Duduk di sebelahku sini."
Aku menggeleng. Membuat gestur, memintanya bercerita saja.
"Hm, oke. Terserah," ujar Hening pelan. Berat, ia menarik napas dalam. Matanya yang sendu menenggelamkan matahari di hatiku. Rasanya perih melihatnya begitu.