Setelah tenaganya menipis, Cakra terengah-engah. Kakinya lunglai, terduduk. Bersandar pada pagar yang merapuh, lalu tertunduk. Kata-kata menguap menjadi deru nafas yang melemah.
Aura memejamkan mata. Menguatkan dirinya untuk mengeluarkan isi Kotak Pandora. Mengambil sesuatu dari sakunya.
"Cakra... bisa kamu dengarkan aku?" Hati-hati, Aura duduk di samping Cakra. Menginjak serpihan pagar yang tercecer di lantai atap. Tangannya menyodorkan selembar foto lama. "Aku mendapatkan foto ini dari Ibu."
Foto itu lusuh, berusia puluhan tahun. Berliter-liter air mata ibu Aura dan remasan tangannya membuat foto itu memburam. Namun, Cakra masih sangat mengenalnya. Foto itu sama dengan foto balita yang ada di rumah orang tuanya. Sosok itu, Cakra 28 tahun yang lalu.
Cakra diam, terlalu kelu meminta penjelasan.
"Cakra, aku tidak tahu sejauh apa kamu mengingat sejarahmu. Tapi.. Ibu mengenalimu. Ibu tidak bisa melupakan seseorang yang lahir dari rahimnya."
Cakra menggeleng lemah. "Tidak mungkin," sahut Cakra, nyaris berbisik. Lelaki berkulit sawo matang ini tidak punya daya lagi untuk meluapkan kemarahan. Kesedihan dan kegetiran memeluknya bersamaan.
"Ibu menitipkan maaf padamu. Kamu tahu, kondisi ekonomi di tahun 98, memaksanya untuk menyerahkanmu pada majikannya dulu."
Cakra geming, berusaha mencerna keriuhan dalam dirinya. "Ini lelucon, kan?"
Aura menggeleng. Tidak, ini kenyataan. Suara Aura dan suara hati Cakra menggumamkan hal yang serupa.Â
Rasa sambal Aura terasa amat familiar, karena mengandung sentuhan ibunya. Aura menggenapi hidupnya, karena mereka berbagi galur yang sama. Semua bukan cinta yang Cakra pikirkan, bukan cinta yang mereka inginkan.