Kendati harus compang-camping, mudah bagi Cakra untuk menemukan Aura, lalu memaksanya ke atap gedung tua yang belum juga berganti nuansa. Masih muram, masih kelam.
"Maksudmu apa?" Mata Cakra menyala, merah.
"Buat apa kamu kemari?" Angin menerbangkan kerudung hitam Aura. Jantungnya berdegup menyakitkan. Nafasnya tersengal. Tangan kanan Aura mengurut tangan kirinya yang ngilu ditarik Cakra begitu kasar.
"Tidak mencintai siapa-siapa, katamu! Ini apa?" Tangan Cakra membanting undangan pernikahan berwarna jingga.
Aura menggeleng. "Kamu tidak mengerti Cakra. Hanya itu satu-satunya caraku melupakanmu."
"Omong kosong, Aura! Buat apa kamu lupa? Aku tidak pernah meninggalkan kamu. Kamu bisa hidup bersamaku dan bahagia!"
"Sudah, Cakra. Sudah. Aku mencintaimu, benar. Masih. Tapi, kita tidak terlahir untuk menjalin kisah cinta."
Gusar, Cakra mengacak rambutnya. Pikirannya buntu. Tidak paham apa yang selalu dibicarakan Aura perihal "tidak bisa bersama".Â
Cakra berteriak, menyalurkan luapan energi dengan meninju pagar pembatas. Retak.
Aura geming, menahan perih di ulu hati. Pasrah tergores tajamnya rindu yang membabi buta. Hasrat untuk menghambur pelukan hanya dapat tertahan di ujung pikiran.
Sementara Cakra sibuk mengendalikan kemarahan, agar tidak sampai menyakiti Aura. Cakra memaki, menghujani tembok dengan kepalan tangan, hingga membanting apa saja yang ia temukan.