Fragmen 10. Lembah Halimun
Semesta dalam perspektif orang pertama.
Dulu, langit bagiku tak pernah lebih dari langit-langit. Terbelenggu di lantai keramik yang tak kenal banyak sifat selain artifisial. Lingkup rumah, kampus, dan kafetaria menelanku bulat-bulat bagai Segitiga Bermuda. Sebelum taman-taman kota menjadi apartemen dan cagar bagi orang-orang kaya, di sana satu-satunya alam yang kumiliki dalam kepala.
Sampai di situ, aku tak menyangka satu peristiwa bisa mengubah segalanya.
Ayahku pergi, tanpa meninggalkan sekerat jejak untuk diikuti. Meninggalkan seluruh harta benda, kecuali tiga baju dan sepasang sendok garpu bergagang merah.
Meninggalkan aku bersama dua perempuan kesayangannya, adik dan ibuku.
Sejak itu, tak ada hari kulewati tanpa mengumpulkan beragam informasi tentang Ayah. Semua rekan dan saudara telah kuhubungi, tidak ada yang tahu keberadaannya. Mulai dari polisi hingga mafia jalanan kukerahkan demi menemukannya.
Sama juga, tak ada hasil.
Ibu mengatakan, sebaiknya aku menyerah. Ayah cuma butuh waktu. Ia akan kembali kala situasi telah terkendali.
Sungguh, aku ingin percaya pada ketabahannya. Tapi, pelupuk mata Ibu tidak pandai berpura-pura. Ia memeluk penerimaan, namun digelayuti peperangan. Ia terlalu keras mengarungi kesepian demi harapan yang hampir tenggelam.
Rumah kami begitu suram, tak pernah kekurangan bahagia yang dipaksakan. Senyum yang terlalu getir. Kehangatan yang terlalu panas.