Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lembah Halimun #10

24 September 2018   18:07 Diperbarui: 25 September 2018   06:42 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan kalkulasi yang sering meleset, naluriku mengatakan ia mengarah ke Lembah Swarga. Di dataran itu, terhampar hutan pinus yang selalu berlumur kabut. Pernah sekali, aku masuk ke sana. Baru menjelajah setengah, aku menyerah. Tak mudah menentukan arah dalam pemandangan yang hampir serupa.

Putih. Magis. Mistis.

Langkahku melambat. Untuk sampai ke batas lembah, ada dua cara umum. Jalur yang menukik curam beralaskan rumput, tampak berkilau oleh embun. Licin. 

Aku memilih cara kedua. Setapak landai berbentuk zig-zag. Agak jauh, tapi berisiko minimal. Lagipula, aku butuh tenang sejenak untuk mampu menembus kabut.

Baru beberapa meter mendekat, tubuhku terasa ringan. Sepi, tapi aku tidak sendirian. Beberapa ekor tupai menyusuri dahan-dahan, berkejaran.

Hewan-hewan hitam kecil mirip kepiting berjalan miring di dinding lumut. Kaki seribu besar bergulung manis di tanaman perdu. Damai.

Kusatukan jiwaku pada nyawa lembah, berusaha membuat mereka tetap nyaman.

Memasuki area berkabut, aku merinding. Ada hawa lain selain dingin. Terlalu hening. Berkali-kali aku dikejutkan oleh bayangan yang menyembul dari sibakan kabut. Hanya sebatang dua batang pinus tua.

Kakiku melangkah hati-hati, dengan otak terus bekerja mencari cara mengingat arah. Aku merogoh saku, mengambil sebatang kapur. Menoreh sebuah garis pada batang pinus terbesar yang kulihat di batas pandang.

Baru juga setitik kecil pada pohon ketiga, tanganku bergetar. Tepat di atas telunjukku, terukir dua huruf yang amat kukenal. MJ. Sekerat jejak menuju Ayah. Absurd memang. Lupakan soal ketiadaan janji maupun jaminan. Aku butuh sesuatu untuk digantungi harapan.

Dengan deru napas tak beraturan, debar jantung semakin enggan dikendalikan. Bola mataku liar, beredar, mencari tanda-tanda, dan isyarat lain yang bisa menampung pertanyaan. Aku berkeliling, menelisik setiap sisi batu-batuan, batang pohon, dan apa saja yang bisa memberi jawaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun