Iya dia, Neira Gautama.
Tiga mawar merah di bawah cemara. Metazoa. Kerangka. Gadis itu membawa terlalu banyak kisah untuk mampu kulewatkan begitu saja. Meninggalkan kesan terlampau dalam untuk sanggup kulupakan.Â
Aku tidak paham logika rasa, tapi dia adalah perempuan yang ingin kujaga hingga kehidupan selanjutnya. Setelah senyuman Ibu dan wajah cerah adikku, ia masuk dalam sederet alasan pencarian Ayah.
"Aku ingin lebih dulu bertemu Pak Wira, Ren," kata Neira sore itu, selepas aku melamarnya.
"Kenapa?"
"Kata maaf di antara kami belum tuntas." Â
"Maksudnya?"
"Aku ingin memaafkan dan meminta maaf."
"Minta maaf untuk apa, Nei? Kamu tidak salah pada Ayah."
"Banyak, Ren. Atas semua buruk sangka dan kebencian menahun. Racun-racun itu telah menyakiti kami berdua. Aku belum sempat membicarakannya setelah pemakaman."
"Jadi kamu tidak akan menerimaku hingga Ayah kembali?"