Pada dua foto wisuda yang terpajang di ruang keluarga, ada Ayah dengan pose serupa. Kami mengeditnya sendiri, menempelkan sosok Ayah di sana. Menyedihkan? Memang. Pathetic.
Selama puluhan purnama, kami berputar-putar dalam labirin tanpa jalan keluar. Setelah semua kemungkinan, hanya satu jalur tersisa. Di ujung pandangan, terdapat lorong gelap yang kami yakini menyembunyikan banyak hal tidak terduga. Di sana, ada satu nama yang belum kami capai.Â
Mandala Jayanto. Dia, adik kembar Ayah.Â
Meski sering menampakkan diri dalam acara keluarga, tidak ada yang tahu nomor kontak dan alamatnya. Ia selalu berdalih bahwa kami tidak akan berkunjung sekalipun tahu tempat tinggalnya.
Terlahir sebagai anak kembar, dia jelas individu yang terpisah dari Ayah. Tanpa embus keraguan, dia melawan arus keturunan Jayanto. Ia tinggalkan bangku kuliah dan hidup mengembara. Dari gunung ke gunung. Dari lembah ke lembah. Â Tak ada seorang Jayanto pun yang mampu memahami pilihan dan tingkah lakunya.Â
Jengah dengan nama Mandala, ia bersikeras dipanggil 'Jay'. Menurutnya, Mandala terdengar terlalu ningrat. Tanpa memiliki tanda pengenal yang masih berlaku, ia mendeklarasikan nama barunya pada acara sunatan sepupuku beberapa tahun lalu.Â
Aku masih ingat wajah Kakek yang merah padam dan langsung melangkah pulang.
Di antara rumpun orang bertuksedo mahal yang menyematkan kehormatan, figur Om Jay tampak seperti makhluk asing dengan setelan petualang. Tapi dalam pandanganku, dia berbeda dan tidak pernah membosankan. Banyak hal-hal baru yang ia ajarkan padaku. Salah satunya, sama dengan Neira, tentang Metazoa.
"Ren, kamu yakin mau melakukan ini?" tanya adikku.
"Harus yakin. Tinggal ini satu-satunya jalan yang belum dicoba."
"Memangnya kamu masih ingat wajah Om Jay? Sudah hampir sepuluh tahun tidak ketemu."