Namun, ide buruk jika harus dipaksakan kepada masyarakat strata bantaran sungai. Kualitas mental mereka harus lebih dulu ditingkatkan untuk dapat menghuni rumah susun," lanjutnya.
Seorang pemuda lain menambahkan, "Pengembangan aspek psikologis dan pemberdayaan masyarakat sudah harus dimulai dari kolong jembatan, pinggir rel kereta api, tepian sungai, dan dimana saja mereka berada, tanpa penggusuran."
"Dan, semua ini butuh kesabaran dan solidaritas antara pemerintah dan warga kota. Kami pikir sudah waktunya pemangku jabatan tidak lagi bersaing dan saling menjatuhkan. Harus dibangun kebersamaan sosial agar rakyat tidak kebingungan. Karagan terlalu lama berkorban dalam dagelan kekuasaan," sahut yang lainnya.
"Baiklah. Apa program terdekat yang akan dieksekusi?" tanyaku sebelum wajah-wajah di ruangan ini semakin tidak karuan menahan marah dan malu yang bersingunggan.
"Perbaikan kampung di bantaran Sungai Kaliran."
"Oke, laksanakan."
***
Anak laki-laki berkaos biru berlarian bahagia bersama kawan-kawannya. Sepintas, rupa mereka tampak sama. Berkulit coklat terlalu tua, rambut berantakan, kurus, terbungkus baju dengan level kusam yang tak jauh beda. Lahir, mengalir, dan bersenyawa dengan buangan kota.
Beberapa meter di atas mereka, layang-layang kehilangan tuan bertaruh nasib terbawa angin. Jatuh dan menjadi rebutan, atau singgah di pohon tinggi menjadi sampah seorang diri. Sepanjang tiupan, ia berandai-andai memiliki pilihan.
Hingga, ranting terjauh menggamit senar yang kusut. Kekecewaan memeluk anak-anak yang seketika menghentikan langkah. Tapi tidak bagi anak laki-laki berkaos biru. Kaki telanjang yang penuh bekas luka itu memanjat hingga mencapai lilitan layang-layang.
Anak-anak lain bersorak, mengelu-elukan namanya. Namun, terlalu senang membuat kewaspadaan anak berkaos biru itu hilang. Ia menginjak dahan lapuk yang dikerubuti semut. Pegangannya terlepas, lantas jatuh berdebum di tanah keras. Sayup terdengar gemeretak tulang, lalu hanya ada keheningan.