Aku menggeleng. "Entah. Apa yang terjadi, terjadilah."
Benar saja, terembus badai yang tidak bisa dicegah pasca banjir teratasi, televisi penuh berbagai spekulasi, dan ketidakwarasan Pak Wira. Angin kencang siap meluluhlantakkan kantor pemerintahan.Â
Friksi besar itu terbungkus dalam amplop putih tanpa nama pengirim, tapi jelas ditujukan padaku. Salinan surat pengunduran diri Pak Wira, sekaligus titah tugas untukku, sebagai walikota Karagan penggantinya.
Kurang dari 36 jam, kami dikerumuni banyak kejutan.
Pengunduran diri ternyata hanya pemanasan. Halaman depan koran-koran yang dijajakan di lampu merah kini memampang berita mengejutkan. Dengan menggunakan istilah-istilah khas kantor berita masing-masing, semua mengabarkan soal lenyapnya Pak Wira dari peradaban. Poof!
Tidak ada satu pun manusia yang dapat memberi kesaksian. Pak Wira masuk dalam daftar pencarian orang. Sulit dipercaya, tapi pihak keluarga juga mengaku tak tahu, bahkan mereka yang melaporkan berita kehilangan itu ke polisi.
Satu-satunya yang tersisa dari Pak Wira adalah surat-surat yang ia kirim ke seluruh kantor berita. Berisi permohonan maaf atas segala keputusan yang merugikan Karagan, atas orang-orang yang tidak mendapatkan keadilan, serta program-program revolusioner yang akan segera dilaksanakan.
Aku, yang kini memikul amanah sebagai pengganti, menjadi sasaran empuk para wartawan. Masalahnya, Pak Wira tidak pernah melakukan perundingan apapun. Semua serba mendadak, hingga kami merasa terjebak. Mau tidak mau, tim satuan tugas yang diam-diam dibentuk oleh Pak Wira, kami hadirkan untuk memberi penjelasan.
Sekalipun ia masih hidup, aku seperti berhadapan dengan surat wasiat. Memasang telinga dengan khidmat dan bersedia melakukan segala maklumat.
Kendati sikap Pak Wira dicap publik sebagai pengecut, hanya dia yang mampu kuhormati selama menjabat. Sosok idealis yang tegas, religius, dan bertanggungjawab.
Meski mahasiswa-mahasiswa selalu berburuk sangka, aku tahu Pak Wira selalu berniat baik, jauh dari korupsi, dan tidak pernah mendahulukan urusan pribadi. Namun, para pengembang properti memang amat lihai bicara, seolah mereka sanggup mewujudkan semua impian besar tentang peradaban kota. Menggiring Pak Wira menuju jurang, yang lantas menelannya hidup-hidup dalam cercaan seantero Karagan.
Ya, kota yang bersih, tertata rapi, dan bebas permukiman kumuh, terdengar indah. Tapi, tak lebih dari hasrat kelas menengah.