Seusai sholat jenazah, kami menembus remang lampu jalan, menuju pemakaman. Menuntaskan semua yang tinggal peristiwa. Dalam keheningan, tanpa orang tambahan, selain satu petugas makam lanjut usia.
Adrian Gautama, menambah panjang daftar orang-orang hilang pasca reformasi negara. Barisan sosok-sosok bijaksana dan mencintai keadilan, namun gugur tanpa peradilan. Aku diselamatkan oleh hukum yang enggan berjalan tanpa tumpukan uang dan pengacara mahal. Seumur hidup, aku tidak bisa lebih terpuruk
Doa-doa kematian Gau juga menjadi doa-doa kematianku.
***
Bingkisan itu tidak besar, tapi menakutkan. Meski semanis senja, warna merah bagiku tetaplah mimpi buruk. Sepasang sendok dan garpu dicat seolah berlumur darah. Hadiah dari para mahasiswa yang berdemonstrasi kemarin lusa.Â
Aku menghadapinya dengan gentar, menggigiti kuku seperti anak kecil yang ketakutan.
"Ayah, itu apa?" tanya Reno.
Aku menyerahkan sepucuk surat yang sudah remuk kugenggam.
Dear Bapak Walikota Karagan yang Kami Cintai,
Ini bingkisan dari kami, penderitaan rakyat yang Bapak nikmati. Bapak hancurkan, ratakan rumah kami seperti melahap makanan basi. Tak ada yang mampu kami daki dari barisan gedung-gedung tinggi. Sadarkah Bapak, seluruh sendok dan garpu yang Bapak miliki sudah berlumuran darah kami?Salam hangat,
Rakyat Miskin yang Berkurang,
karena Sudah Mati
Reno tampak geram. Surat itu semakin remuk oleh remasan tangannya. Tidak puas, Reno menyobeknya menjadi potongan-potongan kecil, lalu ditabur di tempat sampah.