Fragmen 7. Fatamorgana (2)
(Semesta dalam perspektif orang ketiga)
Pukul dua dini hari. Waktu sempurna untuk bercengkrama dengan burung hantu, mengetuk pintu langit, dan menuai embun pagi. Juga menggali halaman rumah, mencari jasad orang mati.Â
Enam pasang mata sudah cukup banyak menjadi saksi. Kami mengendalikan suara agar tidak membangunkan tetangga. Menyuap petugas ronda agar tidak menyebar berita.
Muram, berkubang kegetiran.
Sekalipun purnama hadir membawa penghiburan, isak tangis istri Gau terlalu sendu untuk diredam. Anak bungsuku tenggelam dalam pelukan ibunya. Aku dan Reno menggali tanah gembur di bawah cemara.
Membongkar dan menyelesaikan rahasia. Menopang pikiran kami yang terombang-ambing di tengah samudera. Gamang, tanpa pijakan. Hanyut, tanpa kepastian.
Waktu memadat, meminta kami bergerak cepat. Tidak sampai dua meter hingga ujung sekop menubruk sesuatu. Keras dan putih gading. Tangan kami melanjutkan pekerjaan tanpa alat bantu.
Tulangku bergetaran. Tengkorak manusia tergolek di sana, terkubur bersama cerita. Mungkin juga segenggam dendam, dan hal-hal kelam yang butuh penebusan.
Tidak pernah terlintas di sela-sela imajinasi terliarku sekalipun, momen ini akan berlangsung. Menemukan Gau di halaman rumah, berbentuk sebuah rangka. Aku ambruk, berlutut. Tak kuasa menahan gumpalan dosa. Bukan saatnya larut dalam sesal dan rasa bersalah, hatiku berbisik.Â
Kuhirup banyak udara, menegakkan kaki. Hanya untuk mendapat perlakuan layak, jasad Gau terlalu lama menghitung hari.