"Selalu ada yang bisa jadi tujuan," jawab Jay sembari terus melangkah. Suaranya terdengar sayup tertiup angin pegunungan. Bercampur deru yang menerpa tenda-tenda. Dingin.M
"Aku bosan dengan acaranya. Boleh aku ikut?" tanyaku hati-hati.9
Jay tidak menjawab. Langkahnya terhenti. Ia duduk di atas batu besar yang tak jauh dari tepi lembah. Hanya ada satu batu lagi, berjarak dua meter.
Kami duduk bersisian, dan waktu terbingkai menjadi sebuah lukisan. Karya seni tentang dua manusia. Tidak cukup dekat. Memandang ke arah berbeda. Satu ke lembah gelap dan satu ke langit mendung. Keduanya nyaris hitam, keduanya suram.
"Kenapa kamu ikut pendakian ini? Kamu tidak berbaur dengan yang lain," tanya Jay.
Dalam kegelapan aku tersenyum. Untuk saat ini, mendengarnya bicara saja sudah menjadi definisi bahagia. Sayang sekali, kegelapan menelan matanya yang coklat tua.
"Aku lebih suka mengamati. Kau tahulah, mengisi kekosongan bangku penonton," jawabku tanpa berharap dipahami. Aku melihat bayangan Jay mengangguk-angguk.
Selanjutnya, keadaan berbalik dari ekspektasi. Dia menjadi pihak yang banyak bertanya. Aku ragu dia benar-benar ingin tahu. Kurasa, Jay hanya menghindar untuk diberi pertanyaan.
"Aku harus pergi," kata Jay tiba-tiba. Ia berdiri, bersiap-siap pergi. Kepalanya mengarah ke satu tujuan.
Terbiasa dengan sedikit cahaya, mataku menangkap bentuk-bentuk janggal di antara pemandangan serba kelam. Aku menyadari ada seseorang yang mengawasi kami. Bayang hitam yang sama dengan kemarin malam. Sosok yang mengikuti kami sepanjang perjalanan.
"Kamu mau kemana Jay?" tanyaku. Merelakannya menjauh. Aku memaksakan diri untuk percaya dia benar-benar mengenal gunung ini seperti rumah sendiri.