Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ketika Kabut Itu Pergi (2) #5

16 September 2018   13:46 Diperbarui: 18 September 2018   01:01 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen kelima bagian kedua dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

***

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

(Semesta dalam perspektif orang keempat).

Harapan melihat Jay di pos empat kandas. Ketua rombongan berbisik padaku, Jay lebih dulu menuju pos lima. Iya, dia berbisik. Hanya padaku. Mungkin, karena aku satu-satunya yang mengindahkan keberadaan dan ketiadaan Jay.

Di padang peristirahatan ini, kami bertahan cukup lama. Pemuda berkacamata, berwajah pucat, yang aku lupa namanya, mendadak sesak napas. Dengan cekatan, panitia memberi pertolongan. Dibantu seorang pendaki lain yang kalau tidak salah, mahasiswa kedokteran.

Aku diam saja, terpaku menatap mereka. Peserta lain juga. Tidak ada yang berani mendekat. Tidak ada yang bisa dilakukan selain bernapas dan melihat-lihat. Pasalnya, dalam kondisi ini, kerumunan orang malah memperkeruh suasana.

Apalagi, jika aku mengatakan bahwa ada orang aneh yang terus mengikuti kami. Maka lagi-lagi, aku harus bungkam.

Pria bertopi hitam mengintai kami dari balik rerumputan tinggi. Persis seperti singa yang mengincar mangsa.

Namun, bisa juga sebaliknya. Anak beruang yang kehilangan induk juga seringkali bersembunyi, mengintip ketakutan.

Kuhempaskan tubuh di atas daun-daun kering. Pria itu masih di sana. Diam-diam, aku balik mengawasinya. 

Alih-alih takut, aku justru merasa takjub. Pada sepasang mata itu tidak ada sorot bahaya. 

Ingin rasanya aku mendekat, mengajak bicara, menyelami pikirannya. Kalau perlu, aku bersedia menjadi teman untuk menontoni orang-orang.

Aneh sekali. Tapi, aku patah hati ketika dia tahu-tahu pergi. Ada kesamaan yang tidak mudah dijelaskan antara pria itu dengan Jay. Sorot mata mereka hampir serupa.

Kutebak, warnanya juga sama coklat tua.

"Siap-siap. Kita berangkat lima belas menit lagi ya."

Seorang peserta bersorak. "Yuhuuu...! Tinggal satu pos terakhir menuju puncak!"

Perhatianku teralihkan oleh sorak-sorai rombongan. Sejak awal, puncak Gunung Parung bukan pencapaianku. Begitu pula dengan puncak-puncak gunung lain, atau segara-segara yang tersembunyi di balik rimba.

Pada setiap perjalanan, aku hanya memasuki persemayaman isi pikiran. Bertemu orang-orang baru. Memunguti celotehan mereka, untuk kubawa ke Jakarta. Menjadi pajangan dinding, pengisi buku harian, dan buku-buku baru yang dinantikan. Aku berkelana dengan menjadi latar belakang dan pelengkap jumlah orang.

Tapi, kali ini agak berbeda. Aku bosan dan kelelahan. Pendakian ini menguras perasaan. Aku gagal selaras dengan alam, manusia, dan pikiranku sendiri. Jay memenuhi lini obsesiku. Satu-satunya penawar hanya mengingat mata coklat tua dan punggung itu lagi ... dan lagi.

Pada ilalang yang menghampar di bawah jurang, aku melempar pandangan. Keril biru pada punggung yang sedih dan rambut ikal itu melintas. Menoleh padaku, tersenyum misterius. Tampak jelas sekali, tapi aku mengenalinya sebatas refleksi. Beberapa saat, lalu hilang. Tidak ada yang bisa kutitipi pertanyaaan. Aku harus menata pikiran sebelum benar-benar kesurupan.

Satu per satu peserta pendakian aku amati. Meski kaki-kaki ini berjalan di antara batang-batang perdu, kami terhalang untuk mampu menjadi satu. Hari libur bagi kami menjadi waktu kerja bagi pepohonan, burung-burung, dan semak belukar.

Mereka menerima kehadiran orang-orang dan memulihkan diri setelah kami pulang. Kecintaan manusia pada alam, belum cukup untuk membuatnya bisa tinggal. Bagaimana tidak. Menziarahi hati, tapi mengunci pintu masuk ke dalam diri

Perihal ini, aku juga sama. Pada angin yang melagukan gerisik dedaunan, pada hewan-hewan kecil yang menghindar dari pijakan, pada hujan yang patuh menjatuhkan kehidupan, pada semua itu ... aku tidak peduli. Tanganku memang tidak terikat pada benda-benda mahal berteknologi tinggi, tapi aku juga terlalu bebal untuk menyapa semesta.

Aku, orang asing yang datang dari lingkup asing dan memasuki kehidupan asing lainnya. Benar sekali jika dikatakan bahwa keburukan orang lain, seringkali sebentuk cermin. Memantulkan noda wajah yang tidak bisa kita lihat sendiri.

"Bagaimana perjalanannya? Kamu tidak tampak menikmati. Saya jadi merasa bersalah," Ketua rombongan menjajariku, menawarkan senyum ramah yang tidak bisa kubalas sepadan.

Aku memaksakan diri menarik ujung bibir. Menghasilkan seulas senyuman hambar. "Menyenangkan kok. Pesertanya seru, sepanjang jalan pemandangannya bagus. Pendakiannya juga nyaman. Meski ada satu yang membuat penasaran."

"Oh ya? Penasaran apa?"

"Peserta yang namanya Jay. Dia kenapa sih? Sering pergi sendiri, sekarang malah pergi duluan. Memangnya kalian tidak khawatir dia kesasar?" tanyaku. Rasa penasaran terhadap Jay sudah terlampau lapar untuk mendapat jawaban.

Ketua rombongan tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, seraya menatap daun-daun gugur yang terpijak kaki kami. Senyumnya masih terpasang.

"Dia bukan peserta open trip. Jay teman kampus saya. Gunung di sekitar Kota Karagan sudah seperti rumah bagi dia. Makanya kami ajak, sekalian jadi penasihat kalau ada masalah."

Aku mengangkat alis. "Dia kuncen gunung?

Ketua rombongan tertawa. "Bukan sih, tapi bisa dibilang begitu. Dia hafal seluk beluk labirin di gunung ini. Dia berkali-kali ke Gunung Parung sejak ..."

Kalimat itu terputus, menggangguku. "Sejak apa?"

"Lebih baik kamu tanya Jay langsung. Saya merasa tidak berhak menceritakan.

Aku mengangguk. Pasrah. Untuk kesekian kalinya, dirasuki lebih banyak tanda tanya.

***

Pos lima.

Langit melumuri Lembah Swarga dengan warna merah kekuningan. Kabut turun lemah lembut, menyelubungi cerita tentang orang-orang hilang.

Aku pernah baca di koran, lembah ini terkenal mistis. Tak kusangka juga romantis. Aku turut prihatin, tempat seindah ini menjadi figuran swafoto wisatawan yang memperlihatkan wajah mereka hingga separuhnya.

Keril biru tergeletak di depan tenda. Jay berdiri di tepi jurang. Melengkapi panorama dengan siluet yang membuatku refleks menahan napas. Raganya utuh berada di sana, tapi aku tahu pikirannya mengembara.

Sungguh, ikut campur urusan orang bukanlah keahlianku. Tapi, manusia yang satu ini hampir membuatku gila. Padanya, aku ingin dianggap ada. Aku terpana pada setiap gerak-geriknya. Dia seperti kisah dengan akhir yang tidak mudah diterka. Dia seperti kotak hitam yang bisa berisi apa saja.

Dia mengisap atensiku seperti pusaran angin terhadap benda-benda. Dia pusat gempa yang hening, sementara aku terguncang oleh hadirnya. Dia bagai bintang mati dengan gravitasi tak tertandingi. Kuhanyutkan diri dengan sukarela, sekalipun nantinya tak kudapati apa-apa.

Ini senja terakhir untuk bisa berjarak dekat dengan Jay. Dekat yang kuartikan sebagai tiga meter, tidak pernah kurang.

Ketika dhuha berakhir di puncak Gunung Parung besok, Jay menjadi cerita yang tidak selesai. Aku akan kembali memeluk meja kerja. Terburu waktu dan termakan oleh tanggal-tanggal yang sulit ditawar.

Menuju tengah malam. Suasana dihangatkan oleh orang-orang yang bersikeras agar tidak dilupakan. Tidak ada lagi keluhan meski bintang-bintang belum juga tampil. Mereka bernyanyi bersama dan mulai membuat acara. Setiap orang diminta bercerita tentang alasan mereka melakukan perjalanan.

Jay beranjak dari duduk, menuju kegelapan.

Aku juga beranjak, menujunya.

"Mau kemana?" tanyaku dengan suara tersendat. Debar jantung gagal kukendalikan. Mempersiapkan diri menerima pengabaian, atau yang lebih parah, pengusiran. Aku menunduk, canggung.

"Selalu ada yang bisa jadi tujuan," jawab Jay sembari terus melangkah. Suaranya terdengar sayup tertiup angin pegunungan. Bercampur deru yang menerpa tenda-tenda. Dingin.M

"Aku bosan dengan acaranya. Boleh aku ikut?" tanyaku hati-hati.9

Jay tidak menjawab. Langkahnya terhenti. Ia duduk di atas batu besar yang tak jauh dari tepi lembah. Hanya ada satu batu lagi, berjarak dua meter.

Kami duduk bersisian, dan waktu terbingkai menjadi sebuah lukisan. Karya seni tentang dua manusia. Tidak cukup dekat. Memandang ke arah berbeda. Satu ke lembah gelap dan satu ke langit mendung. Keduanya nyaris hitam, keduanya suram.

"Kenapa kamu ikut pendakian ini? Kamu tidak berbaur dengan yang lain," tanya Jay.

Dalam kegelapan aku tersenyum. Untuk saat ini, mendengarnya bicara saja sudah menjadi definisi bahagia. Sayang sekali, kegelapan menelan matanya yang coklat tua.

"Aku lebih suka mengamati. Kau tahulah, mengisi kekosongan bangku penonton," jawabku tanpa berharap dipahami. Aku melihat bayangan Jay mengangguk-angguk.

Selanjutnya, keadaan berbalik dari ekspektasi. Dia menjadi pihak yang banyak bertanya. Aku ragu dia benar-benar ingin tahu. Kurasa, Jay hanya menghindar untuk diberi pertanyaan.

"Aku harus pergi," kata Jay tiba-tiba. Ia berdiri, bersiap-siap pergi. Kepalanya mengarah ke satu tujuan.

Terbiasa dengan sedikit cahaya, mataku menangkap bentuk-bentuk janggal di antara pemandangan serba kelam. Aku menyadari ada seseorang yang mengawasi kami. Bayang hitam yang sama dengan kemarin malam. Sosok yang mengikuti kami sepanjang perjalanan.

"Kamu mau kemana Jay?" tanyaku. Merelakannya menjauh. Aku memaksakan diri untuk percaya dia benar-benar mengenal gunung ini seperti rumah sendiri.

"Aku harus menyelesaikan pencarianku," jawabnya.

"Apa yang kamu cari?"

"Sepasang sendok dan garpu," jawab Jay sebelum menghilang di balik pepohonan.

Menyisakan aku dengan satu pertanyaan. Apa katanya barusan?

.... bersambung ke sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun