Tiara menghela nafas, mengangguk-angguk. "Baiklah, aku akan ke dokter gigi besok."
Aku menatapnya simpati. "Kamu belum ke dokter gigi? Sudah berapa lama?"
Tiara menggeleng. "Sejak mulai kerja. Sudah tiga yang tumbuh. Ini yang keempat."
"Bukannya sangat sakit sampai kamu tidak masuk dua hari kemarin?"
"Iya, tapi aku masih tahan," jawab Tiara getir.
Dalam kegelapan, aku memandanginya kasihan. Perempuan ini tampak begitu lelah. Tiara telah menutup rasa sakit pada hatinya dengan rasa sakit lain yang tidak kalah menyiksa. Wajar jika dia tampak seperti manusia yang berjalan tanpa nyawa.
Di kantor maupun asrama, ia intens menatap layar gawai. Gelisah, khawatir, cemas. Benda itu sudah menjadi sumber harapan sekaligus penghancurnya.
Aku tidak berani menerka jika kukatakan padanya, Indra aktif menghubungiku sejak pertemuan kami di Malaysia. Perasaan Tiara yang serupa bom waktu mungkin akan mencapai detik terakhir. Menciptakan ledakan yang lebih dashyat dari bom Hiroshima. Jika terjadi perang dunia, aku bersiap membentuk poros tengah.
Menyedihkan sekali, aku terpaksa menjadi penonton drama cinta yang lebih pantas disebut balada. Setiap malam, Indra bertindak sebagai narator. Menuju hari-H, ia semakin gencar membuat gara-gara. Menuju hari-H, langkah Tiara semakin berat. Aku tahu hati keduanya tengah sekarat.
"Sudah dicabut?"
"Sudah."