Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gigi Bungsu dan Kopi Tanpa Gula

11 September 2018   11:52 Diperbarui: 11 September 2018   16:07 2288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu, sabar dulu. Dewasa memang begitu.

***

Aku melihat bintang senja pada kerlingnya. Bertabur cinta, sedikit guratan luka. Menambah cantik, bulu matanya menjuntai lentik. Pesona yang mengundang iri seisi ruangan dengan dominasi perempuan. Termasuk aku.

Belum tiga bulan ia hinggap di antara kami. Menjadi hantu di tengah sekumpulan kupu-kupu dan kumbang yang hanya satu. Menghuni meja kerja, tepat di hadapanku. Wajahnya polos tanpa dekorasi. Kontras dengan perempuan-perempuan lain di kantor ini. Ya, termasuk aku.

Kami yang berasal dari luar kota dan masih menanti pangeran berkuda merah, tinggal di asrama. Ketika aku dan para gadis masih sibuk dengan catok rambut dan maskara, dia sudah duduk manis di sofa. Hanyut dalam berita pagi di televisi sembari makan seporsi nasi. Jauh berbeda dengan kami yang hanya minum susu diet atau selapis dua lapis roti. 

Tapi ... lihat! Tubuhnya ramping seperti makan dua hari sekali. Lagi-lagi itu membuat kaum hawa lain sulit menerima. Tentu saja, masih termasuk aku.

Namanya sederhana, Tiara. Dia memang berbeda, tapi bukan itu alasan kami menjadi berjarak. Sebagai penggemar hingar bingar, aku tidak punya cara mendekatinya. Tiara begitu lekat dengan hening. Tidak seperti aku yang mencintai bising.

Aku dan teman-teman yakin, Tiara memiliki pikiran super brilian. Membuat kami bingung memilih topik pembicaraan. Jelas saja, dia masuk ke perusahaan kosmetik terbesar negeri ini dengan tampilan remaja masjid. Kalau bukan otak, apalagi yang memikat hati jajaran direksi.

Berkali-kali, aku ingin menyapanya. Mengajak minum kopi atau sekadar ucapan selamat pagi. Tapi berkali-kali pula aku merasa segan, ketika ia menghindar untuk bertatapan lalu beralih ke layar telepon pintar. Aku merasa menjadi pengganggu.

Lagipula, terlepas dari sikap tanpa kehangatan, Tiara rekan kerja yang menyenangkan. Ia selalu mengerjakan tugas dengan cepat dan tidak enggan bekerja sama. Hanya saja, tak ada perbincangan di luar pagar pekerjaan. Ketika kami mulai berbagi gosip, Tiara bungkam. Paling bagus, ia tersenyum padaku karena kamar kami berhadapan dan seringkali berpapasan.

Meski satu bulan pertama seantero kantor mengumbar penasaran, bulan kedua semua menyerah dan memilih melupakan. Jika dia suka menjadi fana, silahkan saja. Asalkan semua orang tetap berbahagia.

Hingga suatu pagi yang lebih dingin dari kemarin, meja kerja Tiara kosong.

Aku yang hobi terlambat selalu berangkat pukul delapan. Kamar Tiara masih berpendar. Dia sakit. Menurut teman sekamarnya, Tiara demam karena tumbuh gigi bungsu. Bukan masalah berarti. Aku pernah mengalaminya. Semua orang juga.

Aku tidak perlu ambil pusing jika dia baik-baik saja. Tapi selepas senja, suara tangis memecah sunyi lorong asrama yang ditinggal pergi para penghuninya. 

Hari ini, seperti tengah tahun sebelumnya, gaji turun berlimpahan. Berbondong-bondong, derap sepatu hak tinggi memasuki taksi, bergegas menuju karaoke dan pusat perbelanjaan. Aku memutuskan tidak ikut. Aku punya prinsip, jika harus menyanyi, aku harus dibayar dan bukan malah membayar. Sombong? Iya, biar saja.

Sempat terpikir untuk mengetuk kamar Tiara. Menawarkan bantuan, atau sekadar bertanya kabar. Bisa jadi dia menyukai kesendirian, tapi tidak ada manusia yang menggemari kesepian. Jika ini berhasil, kami bisa menjadi teman.

Tiga puluh derajat putaran jam, aku masih merangkai kata. Geming, membisu, ragu. Tiara masih bertahan dalam kesenduan. Aku hanya diam, mataku terpejam. Malam itu, isak tangis Tiara justru menjadi pengantar tidurku.

Esoknya, aku termangu mendengar gosip beredar. Tiara akan menikah dua bulan mendatang. Tersebar bagai virus flu, tidak tahu asalnya dan akan berakhir jika sudah kena semua. Aku tidak punya hak untuk ikut penasaran, tapi aku punya alasan kuat untuk kebingungan.

Aku memandangi Tiara dari balik komputer. Menerka makna tangisan semalam. Dia sedikit bermake-up, kemungkinan menutupi matanya yang sembap. Sebagai sarjana psikologi, aku paham mana bahagia dan mana luka. Tiara tidak sedang berbunga-bunga.

"Kamu kenapa tadi malam?" Tanyaku pada akhirnya saat jam makan siang. Tiara sedikit terkejut.

"Ada apa tadi malam?" Dia balik bertanya.

"Aku mendengarmu. Aku ada di asrama semalam," jawabku tanpa intonasi, menghindari pretensi.

"Oh, itu. Maaf ya kalau mengganggu. Aku hanya kesakitan karena gigi bungsu," katanya sambil tertawa. Aku mengangguk paham, tersenyum mahfum.

Dua hari berlalu, kembang wajah Tiara baru saja mekar. Aku lupakan segala suara yang sempat  terdengar. Aku sadar tidak punya hak mencampuri urusan orang. Lagipula, perjalanan dinas selama dua minggu ke depan sudah cukup menyita pikiran.

***

Cangkir kopi keempat menghampiri meja. Jauh dari Jakarta selalu membuatku cemas. Kemacetan mengular, cuaca membakar, dan ayam penyet langganan sudah menjadi candu. Dan setiap jenis candu, mengandung kadar rindu di atas normal, begitu pula sebaliknya.

"Metha, apa kabar?" Sebuah sapaan mengalihkanku dari setumpuk laporan. Putrajaya, wilayah sibuk di Kuala Lumpur ini bukan tempat favorit untuk bertemu teman lama. Tapi, ini ceruk bagi kami, manusia-manusia usia produktif yang berduyun-duyun menjadi utusan perusahaan.

"Indra? Kerja di sini atau lagi dinas?" tanyaku antusias. 

Bukan hanya sekali perjalanan dinasku mendapat bonus berupa reuni. Di tengah musim gugur Seoul yang super romantis itu, aku bahkan bertemu mantan pacar dari zaman jahiliyah dulu. 

Seseorang dari masa ketika aku mengenal cinta sebagai antar jemput rumah-sekolah dan segala traktiran ketika jalan-jalan. Mudah di tebak kelanjutannya, aku menjeratkan diri dalam jaring laba-laba yang sama. Setelah kembali sadar, tentu aku memutuskan hubungan kami untuk kedua kali. Lantas, kembali ke celah taring serigala ibukota. Tidak jauh berbeda memang. Sama saja.

"Loe udah nikah?" tanya Indra tanpa etika kesopanan. Setelah dua tahun tidak berjumpa dan secara indah bertemu di negeri orang, pernikahan bukan topik yang baik untuk mengembangkan arah bicara. Dalam kasusku, justru akan menjadi perusak suasana.

Tapi, kali ini berbeda. Aku malah tertawa, melempar wajahnya dengan kacang Arab yang ada di atas meja. Ia tertawa lebih keras. Kami sudah terbiasa melakukan ini. Dia tahu aku selalu terpikat pada buaya darat. Bocah-bocah yang tidak pernah membawa serius suatu hubungan. Indra hafal itu karena semasa kuliah, ia adalah wadah bagiku membuang keluh kesah. Tempat sampah. Begitu pula aku baginya.

"Oke, gue ganti pertanyaannya. Loe kerja dimana?"

"Perusahaan kosmetik, Amarilis."

"Wuih, pantesan makin cantik. Haha. Eh, loe kenal Tiara dong?"

Aku tertegun sejenak. Aku tidak bisa dikatakan mengenalnya, aku hanya tahu ada manusia semifana bernama Tiara. "Tidak begitu kenal. Kenapa memangnya?"

"Kami bentar lagi nikah."

"Hah?" Aku membelalak beberapa saat, lalu meredup mendengar kata-kata selanjutnya.

"Tapi aku sudah tidak ... apa namanya, cinta?"

Aku terdiam, sementara Indra meneruskan cerita. Gila! Aku memaki dalam hati. Mengaku tidak lagi cinta setelah puluhan tahun berumah tangga, itu biasa. Tapi menjelang pernikahan? Hanya orang gila yang bisa mengatakannya.

Aku menggaruk-garuk kepala. Kisah yang kudengar bukan romantika dari sepasang calon pengantin bertabur warna. Mereka lebih tepat disebut martir yang menanti hari eksekusi di bawah tiang gantungan bernama pernikahan. Jika Indra bukan temanku, dia pasti sudah kulemparkan keluar jendela.

Aku menyeruput kopi yang tidak lagi mengepulkan asap. Atmosfer yang melingkupi kami perlahan berubah. Dari bahagia menuju lara. Laki-laki ini jelas jawaban dari raut tidak stabil yang melanda Tiara. Bahkan mungkin penyebab Tiara begitu muram dan sulit menjalin pergaulan. Hati yang mendung, hanya akan membuatnya canggung.

Di antara mereka, cinta sudah lewat sejak lama. Indra mengaku, berkali-kali ia sengaja melakukan kesalahan agar Tiara melepaskannya. Melupakan tanggal ulang tahun, menghilangkan benda kenangan, bahkan mencari orang ketiga. Tapi, kesabaran dan kerapuhan Tiara membuat Indra tidak tega dan tetap bertahan dengan perasaan yang terlanjur penuh tambalan.

Indra, laki-laki pertama yang mendekatinya. Bagi Tiara, jatuh cinta hanya sekali. Tidak ada waktu untuk memilih atau mencari. 

Hanya saja, cinta itu mulai retak kala Tiara menjadi begitu protektif. Ia paranoid terhadap pengkhianatan dan akhir suatu hubungan. Membuat Indra merasa terpenjara, lantas enggan memberi kepastian. Semua serba mengambang. Mulai dari alasan keluarga, hingga finansial yang belum mapan.

Aku termenung, cinta mereka tragis dan terlalu egois. Sang laki-laki memberi kepastian untuk perempuan yang memberinya kepercayaan. Sang perempuan, hanya mampu percaya jika telah diberi kepastian. 

Barangkali nanti, dengan awal seperti ini, Indra akan selalu menuntut kebebasan dan Tiara akan selalu dipenuhi kecurigaan. Terus saja blunder dan sungguh menyebalkan.

"Lalu mengapa kalian memutuskan menikah?"

"Keterpaksaan. Aku setuju melamarnya, agar dia berhenti meminta."

Aku menutup pembicaraan kami dengan tiga kata. "Kalian sudah gila."

Indra mengendikkan bahu, meminum kopi tanpa gula di hadapanku. Pahit luar biasa, tapi tidak ada perubahan pada ekspresinya. Aku rasa hidupnya sudah jauh lebih pahit daripada itu.

***

Di bawah langit selatan Jakarta yang jarang bertabur bintang, aku menjajari langkah Tiara. "Lepaskan saja. Tidak ada gunanya bertahan," kataku dengan tatapan lurus ke ujung jalan.

Tiara terkejut, bisa jadi karena kehadiran, atau karena kata-kataku barusan. Mungkin juga kombinasi keduanya. "A..apa maksudnya?" tanya Tiara terbata.

"Gigi bungsu. Katamu, sedang tumbuh kan? Lebih baik dicabut saja. Memang harus operasi, tapi tidak sakit kok. Lebih baik daripada impaksi dan mengganggu gigi lainnya."

Tiara menghela nafas, mengangguk-angguk. "Baiklah, aku akan ke dokter gigi besok."

Aku menatapnya simpati. "Kamu belum ke dokter gigi? Sudah berapa lama?"

Tiara menggeleng. "Sejak mulai kerja. Sudah tiga yang tumbuh. Ini yang keempat."

"Bukannya sangat sakit sampai kamu tidak masuk dua hari kemarin?"

"Iya, tapi aku masih tahan," jawab Tiara getir.

Dalam kegelapan, aku memandanginya kasihan. Perempuan ini tampak begitu lelah. Tiara telah menutup rasa sakit pada hatinya dengan rasa sakit lain yang tidak kalah menyiksa. Wajar jika dia tampak seperti manusia yang berjalan tanpa nyawa.

Di kantor maupun asrama, ia intens menatap layar gawai. Gelisah, khawatir, cemas. Benda itu sudah menjadi sumber harapan sekaligus penghancurnya.

Aku tidak berani menerka jika kukatakan padanya, Indra aktif menghubungiku sejak pertemuan kami di Malaysia. Perasaan Tiara yang serupa bom waktu mungkin akan mencapai detik terakhir. Menciptakan ledakan yang lebih dashyat dari bom Hiroshima. Jika terjadi perang dunia, aku bersiap membentuk poros tengah.

Menyedihkan sekali, aku terpaksa menjadi penonton drama cinta yang lebih pantas disebut balada. Setiap malam, Indra bertindak sebagai narator. Menuju hari-H, ia semakin gencar membuat gara-gara. Menuju hari-H, langkah Tiara semakin berat. Aku tahu hati keduanya tengah sekarat.

"Sudah dicabut?"

"Sudah."

"Sudah terasa lebih baik?"

Tiara menggeleng. "Masih sakit. Belum dicabut semua."

"Lepaskan saja semuanya. Segala yang menyakitkan, tidak baik dipertahankan." Aku menatapnya lekat. Tiara hanya diam.

"Rasa sakit cuma akan mengganggu. Apa kamu sanggup menanggungnya seumur hidup?"

Tiara menggeleng pelan. Aku melanjutkan, "Kamu tahu tidak? Gigi bungsu sering disebut sebagai wisdom tooth. Ia tumbuh pada usia ketika seseorang menjadi bijaksana. Selepas segala sakit ini, aku harap kamu juga sama."

Tiara menunduk. Getaran di atas meja mengalihkan pikiran kami. Wajah Indra, lengkap dengan segala coretan dan makian, memenuhi layar telepon genggamnya. Aku ditinggalkan begitu saja. Tiara mengangkat telepon dan bergegas keluar ruangan.

Terhalang kaca, aku memang tidak mendengar apa-apa. Tapi aku melihat kepalan tangan Tiara yang tampak geram. Berkali-kali Tiara diam, menatap langit, dengan mata nelangsa.

Aku menunggu, tapi Tiara tidak kembali. Ia izin pergi dengan alasan ke dokter gigi. Ia juga tidak pulang ke asrama. Aku merogoh saku. Sebuah pesan singkat masuk, dari Indra. Aku rasa, ini malam terakhir kefanaan Tiara.

***

Pagi yang terlalu sepi menjelang Idul Fitri, Tiara sudah siaga di depan komputer dengan setumpuk dokumen. Aku mengucapkan selamat pagi. Mata Tiara lebih sembap dari sebelumnya, namun jelas ia tampak begitu lega.

"Sudah dilepaskan?"

"Sudah."

"Apakah masih sakit?"

Tiara menggeleng, matanya mengarah ke langit-langit. "Sudah tidak ada lagi."

Kami berpandangan, tertawa. Tiara sudah berhenti menjadi hantu. Ia hadir dengan jumlah gigi yang utuh dan hati yang kosong separuh. Langkahnya ringan tanpa beban. Semua orang menyukai perubahannya, termasuk Indra yang terbebas bagai udara.

"Mau kopi?" tanyaku.

"Boleh, tanpa gula ya."

***

Cimahi, 15 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun