Air mataku meleleh membasahi pipi. Menetes pada jilbabku yang melambai seakan mengerti bahwa pertemuan kami kali ini adalah tanda perpisahan.
"Kamu tidak bisa seperti itu. Kejarlah sampai dapat apa-apa yang telah kamu impikan selama ini. Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa ada hal yang lebih penting dibanding dengan cinta yang tak akan lama bersama."
Aku hanya bisa menangis. Tak ada lagi kata yang dapat kulisankan kecuali air mata sebagai rasa kecewa.
Aku membasuh buliran yang telah membentuk aliran sungai. Dengan sekuat tenaga, bibir ini mengatakan sesuatu yang membuat hatiku patah.
"Semoga perempuan pilihan kamu adalah ia yang kelak membersamaimu sampai akhir nafasmu. Dan rasa cintanya melebihi rasa cinta saya kepada kamu."
Dia hanya diam. Lalu tersenyum. Sungguh, ini sangat menyakitkan.
"Jika aku tak dapat mencintaimu layaknya seorang perempuan terhadap laki-laki. Maka, izinkan aku mencintaimu sebagai sesama Muslim karena Allah. Assalamu'alaikum."
Aku membalikkan badan. Lalu berjalan meninggalkan dia yang tak berkata lagi. Air mata yang sudah kubasuh, membludak. Memang benar, berharap kepada manusia selalu meninggalkan rasa kecewa. Cinta semacam ini adalah api. Dan aku telah lebur olehnya.
Sampai saat ini, setelah perpisahan itu kami tak pernah lagi menjalin komunikasi. Semua tentangnya hilang. Tak ada jejak yang ia tinggalkan selain perasaan indah yang berujung menyakitkan. Namun, karenanya aku belajar ikhlas. Aku belajar merelakan sesuatu yang memang tidak pernah terduga sebelumnya. Dan mulai sekarang, aku sudah siap untuk kehilangan siapapun yang telah Allah titipkan.
sumber gambar: google.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H