"Kalau dipertemuan selanjutnya, bisa?"
"Sepertinya tidak. Saya kalau menjelaskan kesalahan tulisan orang, harus hari itu juga."
"Lalu bagaimana?" Aku sedikit kesal dengan jawabannya.
"Kamu naik ke motor saya."
"Saya?" jawabku kaget.
Kak Ihsan mengangguk pelan.
"Tidak apa-apa, insyaallah aman. Nanti setelah saya beres makan, saya kasih tau kesalahanmu apa."
Tidak ada pilihan lain. Aku langsung menaiki motornya. Aku percaya dia orang yang baik bahkan untuk berbuat yang macam-macam rasanya tidak mungkin karena dia juga cukup terpandang. Tapi ini adalah kali pertamanya aku dibonceng oleh seorang laki-laki yang bukan mahram. Meskipun dia mentorku, tapi perasaan risih itu tak dapat dielakkan.
Tiga puluh menit dalam keheningan, aku dan Kak Ihsan tiba di sebuah rumah makan yang cukup ramai. Dia memintaku untuk menunggunya sebentar. Beberapa menit kemudian, lelaki itu keluar dengan dua kantong kresek besar di tangannya. Dengan refleks kakiku berjalan mendekatinya dan membantu membawa kantong itu. Dia mengucapkan terimakasih. Aku mengangguk pelan.
"Saya makannya enggak di sini. Kamu tidak lagi sibuk, kan? Saya mau ke suatu tempat dulu."
Aku mengiyakan permintaannya. Beberapa menit berlalu, motor yang kami tumpangi memasuki sebuah gang kecil. Tidak lama, kami berhenti di sebuah bangunan. Kak Ihsan memintaku membawakan kantong kresek yang tadi dibawanya dari warung makan. Saat aku hendak memasuki tempat itu, kulihat beberapa anak kecil berhamburan ke luar dan meneriakkan nama Kah Ihsan. Mereka memeluk laki-laki itu dengan erat. Dalam hatiku masih bertanya, sebenarnya ini tempat apa.