Mohon tunggu...
Nurul fatimah
Nurul fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Dengan menulis kita bisa mengabadikan semua waktu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahar dalam Perkawinan Islam

31 Januari 2021   14:00 Diperbarui: 31 Januari 2021   14:05 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Dapat dipahami bahwa Allah subhanahu wata'ala memberikan rahmat-Nya dengan perkawinan agar manusia dapat meneruskan keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologisnya secara baik dan benar dalam rangka pengabdian diri kepada Allah subhanahu wata'ala. Selain itu perkawinan juga bertujuan untuk memperoleh kedamaian, kebahagiaan, dan ikatan kekerabatan di antara suami istri.

Dalam pelaksanaan perkawinan Islam mahar merupakan prioritas utama sekalipun mahar tidak termasuk dalam kategori rukun nikah. Maskawin disebut juga dengan mahar, sadag, nihlah dan faridah. Maskawin atau mahar adalah merupakan hak calon istri, banyak sedikitnya maskawin atau mahar tersebut tergantung pada kehendak atau kemauaan calon istri itu sendiri, apabila dimaafkan saja oleh sang calon istri maka hilanglah kewajiban suami untuk memberikannya. 

Maskawin atau mahar tersebut boleh dimanfaatkan suami atas izin istri. Di dalam buku yang lain laki harus memberikan mahar yang disukainya. Jika si istri berbaik hati dengan memberikan mahar atau memberikan sebahagiannya, setelah mahar itu disebutkan kuantitasnya, maka suami dapat memakannya sebagai makanan yang halal dan sebagaimana firman Allah subhabahu wata'ala pada Q.S An-Nisa (4) ayat 4:

Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Pengertian Mahar

Menurut Ghazali dalam Kohar Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dll).

Kata "mahar" berasal dari bahasa Arab yang termasuk katra benda bentuk abstrak  atau masdar, yakni "Mahram" atau kata kerja, yakni fi'il dari "mahara-yamaharumaharan". Lalu, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah di Indonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin.[1]

Di kalangan fuqaha, di samping perkataan "mahar", juga digunakan istilah lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar. Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-Quran merupakan al-Hadits.[2]

Mahar hanya diberikan calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lain atau siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak akan boleh mengambilnya, bahkan suaminya sendiripun tidak boleh mengambilnya kecuali atas izin istrinya. Akan tetapi bila dibolehkan istrinya tidak ada halangan baginya untuk memakainya. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran An-Nisa(4) ayat 4.[3]

Dasar Hukum Mahar

Syaikhul islam Rahimahumullahu berkata: "Termasuk sunnah, meringan mas kawin dan mas kawin itu supaya tidak melebihi mas kawin istri-istri nabi shallahu'alaihi wassalam yang artinya: "Mas kawin yang baik adalah mas kawin yang mudah".[1]

Dalam hadits Nabi shallahu alaihi wassallam bersabda, artinya: Padukanlah wanita-wanita itu pada para lelaki, dan janganlah berlebihan dalam maskawin.

Diriwayatkan dari Tirmizi dalam sebuah hadits shahih, Ia berkata: Umar Ibn Khattab pernah berkhutbah di hadapan orang banyak yang isinya: "Ketahuilah! Janganlah kamu berlebihan dalam memberikan maskawin kepada wanita-wanita, karena kalaupun maskawin itu adalah sebagai penghormatan di dunia atau sebagai ketaqwaan disisi Allah subhanahu wa ta'ala, maka orang yang paling mulia di antara kamu adalah Nabi shallahu alaihi wassalam memberikan maskawin kepada istri-istrinya, dan di antara putri-putrinya tidak pernah diberi maskawin lebih dari dua belas Uqiyyah.

Dimakruhkan bagi laki-laki untuk memberi maskawin kepada istri-istrinya suatu maskawin yang pembayarannya menyusahkannya, atau sulit untuk dilunasi jika itu berupa pinjaman. Dalam pelaksanaan pembayaran  mahar ini juga tidak bisa dipaksakan dengan kekerasan, maka ketika tidak mampu untuk membayar maka dilakukan perundingan. Seperti dalam Q.S An-Nisa(4) ayat 4

            Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Ayat ini memberikan hak yang  jelas kepada wanita dan hak keperdataan mengenai maskawinnya. Juga menginformasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat jahiliyah, dimana hak itu dirampas dengan berbagai macam bentuknya. Misalnya pemegang hak maskawin itu di tangan wali dan ia berhak mengambilnya untuk dirinya, seakan-akan wanita itu objek jual beli sedangkan si wali sebagai pemiliknya. Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya, untuk dimiliki si wanita sebagai kewajiban dari lelaki kepadanya yang tidak boleh ditentang.

Islam mewajibkan si suami memberikan maskawin sebagai nihlah (pemberian yang khusus kepada si wanita) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana memberikan hibah dan pemberian (Abd. Rahman Ghazaly, 2006: 45). Apabila kemudian si istri merelakan maskawinnya itu sebahagian atau seluruhnya kepada suaminya, maka si istri itu mempunyai hak penuh untuk melakukannya dengan senang hati dan rela hati, dan si suami boleh menerima dan memakan apa yang diberikan istri dengan senang hati. Karena hubungan antara suami istri seharusnya didasarkan pada  kerelaan yang utuh, kebebasan yang mutlak, kelapangan dada, dan kasih sayang yang tidak terluka dari kedua belah pihak.

Dengan memperlakukan sistem seperti ini, Islam hendak menjauhkan sisa-sisa sistem jahiliyah mengenai wanita dan maskawinnya, hak-haknya terhadap dirinya dan harta bendanya, kehormatan dan kedudukannya. Diberikan keleluasaan, saling merelakan dan kasih sayang untuk mewarnai kehidupan bersama dan untuk menyegarkan suasana kehidupannya.

Syarat-Syarat Mahar

Dalam Islam tentu sudah ada aturan main yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri baik permasalahan ibadah, jinayah, siyasah, munakahat dan lain sebagainya. Dalam fiqh munakahat telah disebutkan ada beberapa macam syarat sahnya mahar yang diberikan kepada calon istri, adapun syarat tersebut sebagai berikut:[1]

  • Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar
  • Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga/suci.
  • Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah.
  • Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

Para ulama fikih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada isterinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan. Dalam perkembangan hukum, perceraian terjadi tidak hanya karena kemauan suami, tetapi banyak juga terjadi karena permintaan isteri (cerai gugat). Banyak alasan yang dikemukakan isteri untuk menggugat cerai misalnya, adanya kekerasan dalam rumah tangga, ataupun seringnya terjadi pertengkaran yang pada akhirnya.[2]

Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seseorang wanita. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri sepenuhnya. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah yang kita inginkan karena tidak ada batas mahar dalam syariat islma, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu diseseuaikan dengan pihka calon suami. Namun islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, "sebaik-baiknya mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan)." (H.R Al-Hakim:2692).[3]  

Macam-Macam Mahar

Adapun mahar itu terbagi kepada 2 macam yaitu :

  • Mahar musamma. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang disebutkan dalam redaksi adat. Dr. H. Abd. Rahman Ghazali, MA dalam bukunya mendefenisikan bahwa mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah (Abdurrahman, Abdullah, bin, al Bassam, 2006: 44). Ulama Fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
  1. Telah bercampur (bersenggama)
  2. Salah satu dari suami istri meninggal. Demi 'ijma ulama.
  3. Mahar mitsil (sepadan)
  • Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil ini terjadi dalam keadaan sebagai berikut: (Ibnu Taimiyah, Taqiyyudin, imam al-Alamah, 1997: 58)

Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya  ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur (bersenggama).

Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur Ulama dibolehkan.

Firman Allah SWT dalam alquran:

 

Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Ketentuan Mahar Dalam Islam

Mengenai kadar mahar ulama mazhab telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batasan tertinggi. Ulama mazhab mengambil dalil firman Allah subhanahu wata'ala Q.S An-Nisa (4) ayat 20:

 

Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.

Kemudian ulama mazhab berbeda pendapat dengan rendahnya mahar tersebut. Syafi'i, Hambali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimalnya. Mereka mengambil dalil Hadits Rasulullah SAW.

Kawinlah engkau walupun dengan maskawin cincin dari besi.  (HR. Al-Bukhari). Hanafi berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad yang dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar sepuluh dirham. Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari hal tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi apabila belum bercampur maka suami boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfasakh akad, lalu membayar mahar musamma.

Adapun faktor penyebab perbedaan pendapat tentang kadar (ketentuan mahar) di kalangan ulama madzhab ada dua macam sebagaimana disebutkan oleh Ibn Rusyd, yaitu:[1]

  • Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu kalau ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki  dapat memiliki jasa wanita itu selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah.
  • Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.

Penetapan Mahar dalam Islam

Penetapan Mahar dalam Islam Penetapan mahar adalah salah satu dari adat istiadat, dengan demikian hukum Islam mengatur hal tersebut dalam 'urf (adat   istiadat). Kata 'urf secara etimologi adalah sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan dalam Halomoan 'urf  berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.

  1. Urf  baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam
  2. Al-'Urf al-'Amm (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di suatu masa.
  3. Al-'Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat pada masyarakat atau negeri tertentu.

Di samping pembagian di atas, 'Urf  dibagi pula kepada dua macam.

  1. Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya.
  2. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu suatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah. Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi 'urf yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:
  • shahih, dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
  • 'urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.
  • 'urf itu harus sudah ada ketika sudah terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada 'urf itu.

Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak 'urf  tersebut. Allah subhanahu wata'ala berfirman di dalam al-Quran

 

Artinya:

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Dalam hal ini ulama fiqh juga mengatakan sebagai berikut :

  1. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
  2. Menentukan dengan dasar 'urf seperti menentukan dengan berdasarkan nash.
  3. Diambil mudharat yang lebih ringan di antara dua mudharat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun