Mohon tunggu...
Nurul fatimah
Nurul fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Dengan menulis kita bisa mengabadikan semua waktu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahar dalam Perkawinan Islam

31 Januari 2021   14:00 Diperbarui: 31 Januari 2021   14:05 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Islam tentu sudah ada aturan main yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri baik permasalahan ibadah, jinayah, siyasah, munakahat dan lain sebagainya. Dalam fiqh munakahat telah disebutkan ada beberapa macam syarat sahnya mahar yang diberikan kepada calon istri, adapun syarat tersebut sebagai berikut:[1]

  • Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar
  • Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga/suci.
  • Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah.
  • Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

Para ulama fikih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada isterinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan. Dalam perkembangan hukum, perceraian terjadi tidak hanya karena kemauan suami, tetapi banyak juga terjadi karena permintaan isteri (cerai gugat). Banyak alasan yang dikemukakan isteri untuk menggugat cerai misalnya, adanya kekerasan dalam rumah tangga, ataupun seringnya terjadi pertengkaran yang pada akhirnya.[2]

Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seseorang wanita. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri sepenuhnya. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah yang kita inginkan karena tidak ada batas mahar dalam syariat islma, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu diseseuaikan dengan pihka calon suami. Namun islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, "sebaik-baiknya mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan)." (H.R Al-Hakim:2692).[3]  

Macam-Macam Mahar

Adapun mahar itu terbagi kepada 2 macam yaitu :

  • Mahar musamma. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang disebutkan dalam redaksi adat. Dr. H. Abd. Rahman Ghazali, MA dalam bukunya mendefenisikan bahwa mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah (Abdurrahman, Abdullah, bin, al Bassam, 2006: 44). Ulama Fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
  1. Telah bercampur (bersenggama)
  2. Salah satu dari suami istri meninggal. Demi 'ijma ulama.
  3. Mahar mitsil (sepadan)
  • Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil ini terjadi dalam keadaan sebagai berikut: (Ibnu Taimiyah, Taqiyyudin, imam al-Alamah, 1997: 58)

Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya  ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur (bersenggama).

Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur Ulama dibolehkan.

Firman Allah SWT dalam alquran:

 

Artinya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun