Terpikat dengan buku ini sejak peluncuran pada medio April 2023. Sastrawan Kompasiana, Mas Herry menyajikannya melalui artikel Kebersamaan bukber di bawah pohon Tanjung samping rumah. Pastinya buku sangat apik dibedah dalam forum sastra.
Luar biasa, Wit Tanjung Ngiringan Omah memenangkan hadiah sastra Rancage 2024. Kembali diwartakan oleh Mas Herry melalui Wit Tanjung, kenangan, dan sejarah. Jenggirat satsetbatbet tekan tombol pemesanan buku secara daring.
Tanpa menunggu terlalu lama hadirlah buku bersampul warna terakota. Berisikan tiga carita karya Bu Ageng Cicit. Sementara simbok sajikan carita kapisan Wit Tanjung Ngiringan Omah.
Alinea pertama pembuka carita sungguh menggoda. [Mohon maaf tidak simbok terjemahkan, khawatir mengurangi keindahan rasa bahasa]
"Ngiringan omahku sisih kidul, ana wit tanjung cacah nembelas, sing kiwa enem, tengen enem dene sing papat ana ing sisih wetan. Plataran ngiringan mau ora dipageri, dadi sapa wae bisa mlebu plataran kanthi kepenak."
Langsung mencubit rasa. Ada kekayaan verbal, numerik, spasial berpadu. Gaya Yogya sungguh, bermain arah mata angin kidul (selatan), wetan (timur), selain kiwa (kiri) dan tengen (kanan). Pun bilangan nembelas (16), enem (6) dan papat (4).
Secara spasial simbok berimajinasi jajaran 6 pohon tanjung dengan lebar kanopi tajuk 4-5 m, alamak plataran ngiringan omah yang luas. Setidaknya 25-30m kali 25-30m. Halaman samping rumah yang luas, teduh, terbuka tanpa pagar, siapapun dapat masuk dengan nyaman.
Bu Ageng Cicit membuka carita dengan undangan keterbukaan. Siapapun dapat menikmati carita ini dengan kebebasan interpretasi sudut pandang. Termasuk simbok nyaman menikmatinya dengan keterbatasan pemahaman kebun.
Menyadari ranah sinopsis pun review di luar kapasitas. Mencoba ikut duduk di keteduhan pohon Tanjung menyesap sebagian pesan. Bu Ageng Cicit bertutur melalui Jeng Dhatu.
Penyintas peristiwa 1965. Kala tetangga orang terdekat dapat menghunjamkan fitnah. Peristiwa dengan efek antar generasi. Tragedi tidak berhenti dengan disesali. Pembaharuan makna dilukiskan melalui kebesaran jiwa.
Bu Ageng Cicit merenda dengan pemahaman khas beliau. Menggunakan pijakan peristiwa keji dalam rajutan rancangan damai. Dhalang Agung Kang Maha Wicaksana (hal 16). Fitnah ditanggapi dalam pasrah positif. "Kula langkung tentrem menawi pasrah ing Gusti" refleksi ibunda Jeng Dhatu.