Menjadi pengingat perbaikan produksi (kuantitas dan kualitas) semestinya selaras dengan penghargaan. Yuup perlindungan harga produk. Â Diharapkan menjadi lantaran berkat peningkatan pendapatan petani. Bukankah ini bagian dari kesejahteraan rakyat.
Aspek people (sosial budaya) Percakapan Enthit dan Dewi Sekartaji berlangsung dalam kawalan sosial budaya setempat. Begitupun pertanian berkelanjutan juga didasarkan pada keberlanjutan yang ditopang oleh kelokalan.
Beberapa indikator empiris yang disertakan adalah pemerataan, partisipasi maupun pemberdayaan. Keragaman sosial budaya nusantara memerlukan strategi pendekatan yang berbeda. Optimalisasi pencapaian indikator sosial budaya berdasarkan rakayasa karakter lokal.
Rancang bangun teknologi yang selaras dengan pemberdayaan sumberdaya manusia setempat. Penyiapan keterampilan tenaga kerja setempat dengan laju perkembangan teknologi. Kearifan lokal sebagai penggerak keberlanjutan tentunya dengan kontekstualisasi.
Aspek ekologi (planet)
Kesetimbangan dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk manusia dan spesies lainnya adalah pilar penyangga pertanian berkelanjutan. Integritas ekosistem, keragaman hayati juga daya dukung lingkungan menjadi parameternya.
Satu bumi untuk kehidupan bersama. Bersama dalam waktu yang bersamaan. Maupun keutuhan antar waktu yang berkelanjutan. Penanganan mempertimbangan keutuhan ekosistem setempat.
Pertanian berkelanjutan tak pernah lekang dengan issue lingkungan global. Hujan asam, pencemaran pupuk pestisida pada air tanah hingga efek rumah kaca dan pemanasan global. Saling mempengaruhi antar sektor usaha.
Wasanakata
Narasi kearifan lokal dongeng Enthit Dongeng dalam perspektif pertanian berkelanjutan. Setiap kita adalah Enthit (Raden Panji Inu Kertapati) dan Ragil Kuning (Dewi Sekartaji) dalam aneka rupa. Pastinya sahabat pembaca Kompasiana berkenan melengkapinya.
Catatan: sebagai penyemangat teruna kebun bersama menyoal kearifan lokal dan pertanian berkelanjutan.