Mengunjungi cagar budaya Gedung Batu. Menatap keelokan Kelenteng Sam Poo Kong. Merasakan rajutan akulturasi religi budaya. Menghargai kemajemukan kehidupan bermasyarakat.
Sam Poo Kong merupakan salah satu jujugan ala simbok, kala ada kerabat datang mau menikmati Semarang. Selain Kota Lama pun Lawang Sewu. Semua termasuk pada kategori Cagar Budaya.
Yuup inilah The Great Temple Sam Poo Kong, ikon Kota Semarang. The highest Zheng He (Cheng Ho) statue in the world. The oldest Chinese Temple in Semarang. Cagar budaya Gedung Batu dengan No. Regnas CB.1390. Penetapan No SK : 646/50/1992 Tanggal SK : 4 Febuari 1992 Tingkat SK : Walikota.
Merunut Pustaka, Sam Poo Kong (SPK) yang terletak di Jl. Simongan, Bongsari, Kecamatan Semarang Barat, Kabupaten Semarang dibangun pada tahun 1724. Awalnya ditujukan bagi masyarakat Tionghoa untuk berdoa dan sembahyang.
Berdasar semangat pluralisme, kelenteng hakikatnya merupakan pusat agama rakyat yang dianutnya dan interaksinya secara sosial. Merangkum kemajemukan nuansa keyakinan, kesukuan pun tradisi. Terangkum dalam keanggunan, kemegahan dan harmoni.
Sam Poo Kong merajut akulturasi religi dan budaya. Aspek religi, kultural, hiburan, ekonomi pun pendidikan terangkum di kawasan ini. Ramah buat semua umur dengan jarak yang lapang antar klenteng yang berderet. Menyemai benih menghargai kemajemukan.
Berikut adalah foto kunjungan ke SPK pada 29 Des 2019. Menemani keluarga dari Surabaya. Mungkin ini keramaian di penghujung 2019 sebelum pandemik Covid-2019 mendera. Penuhnya pengunjung mulai ditengarai dengan sulitnya mendapatkan parkir di pintu Utara, jl Kaligarang yang biasanya kami masuk dengan gerbang eksotiknya.
Kami pun memutari areal dan diarahkan masuk dari pintu Timur. Mendapat tempat parkir tepat di sisi panggung pertunjukan. Pengunjung memadati pendapa utama.
Riuhnya bebunyian musik dan teriakan penonton layaknya magnet yang menggeret pengunjung ikut memadati sekitar panggung pertunjukan. Segera kami merasuk pada keramaian ikut berteduh di bangunan besar.
Meski sering menikmati pertunjukan barongsai, ini pertama kalinya menikmati di Sam Poo Kong. Alunan dan hentakan musik penuh semangat terasa pula aura magisnya. Amatan detil terlihat 4 komponen di panggung ada liong putih, keemasan, manekin sosok tua (itukah manekin Dewa Rezeki?) dan tarian naga. Para pemain selain atraktif juga komunikatif dengan penonton.
Nonton pertunjukan di keteduhan bangunan dengan arsitektura warna khas merah. Menatap jajaran kelenteng di hadapan. Tetap menyertakan komponen hijau tumbuhan. Memicu semangat menyempatkan blusukan di setiap kelentengnya dari Dewa Bumi hingga kelenteng Jangkar.
Terasa haus dan lelah, mari berteduh di kawasan kuliner. Paduan merah dan pepohonan menghijau menambah meriah suasana. Saat itu kami incip gempol pleret salah satu kuliner lokal.Â
Oh ya menarik juga loh buat yang mau mencoba busana Tiongkok. Nggak perlu jauh melintasi buana sudah bisa mengenakan busana dengan aneka pilihan. Tentunya dilanjutkan dengan dokumentasi ya.
Saat kunjungan cuaca sungguh cerah. Paduan langit biru tebaran awan putih aneka corak memanjakan para pengunjung terutama penyuka fotografi. Bukan hanya dokumentasi bangunan cagar budaya, sekaligus pertunjukan pun aneka gestur respon para pengunjung.
Salah satu pusat perhatian adalah visualisasi patung perunggu keberadaan Laksamana Cheng Ho yang menjulang. Letaknya dekat dengan pintu Selatan. Selain membaca penjelasan di bawah pijakan kaki sang laksamana, pengunjung dapat berfoto dengan aneka angle sesuai pilihan.
Kisah heroik Laksamana Cheng Ho sangat hidup di tengah masyarakat. Mendapat tempat di hati dengan tebaran jejaknya di banyak tempat. Religi berpadu budaya di tengah realitas kehidupan keseharian.
Memenuhi hasrat melongok dan menyimak kemajemukan, kami berkunjung lagi pada pertengahan 2022. Kali ini disengajakan dengan tiket kunjungan penuh. Bukan hanya di areal plaza namun menuju areal dalam jajaran kelenteng di sisi Barat.
Pengunjung menyisir mulai dari depan yaitu kelenteng Dewa Bumi, berurut hingga ujung belakang. Jalur kembali melalui jalur yang sama sehingga bila ada minat yang terlewat dapat dilirik ulang saat mau keluar.
Baik sajian ini mengikuti alur balik, dimulai dengan kelenteng di ujung belakang. Areal ini agak jarang pengunjung karena biasanya perhatian tersedot pada klenteng besar. Pengelola tidak kurang akal, dibangunlah spot foto Fushimi Inari yang instagramable.
Balik ke fokus krlenteng inilah Kelenteng Kyai Nyai Tumpeng yang bersanding dengan Kyai Cundrik Bumi. Bila dilongok lebih detail isinya penanda semacam pusara. Terasa bauran budaya, penamaan dengan frasa Jawa.
Kyai Nyai Tumpeng berkenaan dengan sediaan logistik pangan. Sedangkan cundrik bermakna senjata tajam. Pemaknaan dangkal simbok, keamanan masyarakat tidak hanya bertumpu pada persenjataan. Kecukupan pangan bagian dari aspek keamanan.
Mari maju sedikit. Inilah Kelenteng Kyai Jangkar. Secara fisik tersimpan jangkar perahu. Terkait cerita pelayaran Laksamana Cheng Ho.
Menariknya di sekitar kelenteng tumbuh tanaman dengan batang merambat, kayu rantai yang menyerupai temali atau tali dadung yang digunakan tambang kapal. Tumbuhan ini menempel pada tebing kemudian dirambatkan ke penyangga besi untuk mudah dilihat pengunjung.
Nah di bagian tengah Kawasan klenteng, inilah kelenteng utama pemujaan Sam Poo Kong. Menjadi pusat dari kegiatan religi di Kawasan ini. Secara fisik pengunjung mudah mengenali sebagai bangunan termegah dengan ribuan lampion.
Sebagai kawasan ibadah, kita pengunjung tetap menghargai privasi umat ya. Keistimewaan klenteng ini terdapat gua terdapat di bangunan utama maupun tebing di belakang bangunan. Berkali berkunjung tetap kagum dengan arsitektura atap pun pilar penyangganya.
Bagian yang menarik perhatian simbok adalah diorama di sepanjang tebing belakang kelenteng. Pengunjung dapat mengakses dari sisi kira ataupun kanan bangunan utama bila tidak ingin mengganggu konsentrasi umat yang ibadah.
Diorama penggambaran perjalanan laksamana Cheng Ho yang disajikan dengan Bahasa Inggris pun Mandarin. Juga pintu masuk ke gua batu. Muasal penamaan Gedung Batu.
Kelenteng berikutnya Kelenteng Pemujaan Makam Mbah Kyai Jurumudi Dampu Awang. Ukuran kelenteng sedikit lebih kecil dari klenteng utama. Kemajemukan peran diterakan. Setiap kelenteng memiliki pengunjung fanatisnya.
Sampailah kita ke bagian jajaran kelenteng terdepan. Kelenteng Dewa Bumi. Insan bersyukur atas rahmat bumi dan memohon berkat pemeliharaan melalui rezeki bumi. Penanda awam, di depan kelenteng terdapat jajaran 8 dewa.
Secara menyeluruh terasa suatu siklus penghargaan atas bumi, apresiasi kemajemukan peran fungsi pekerjaan manusia. Terangkum dalam pemujaan dan mendatangkan keamanan pun kecukupan pangan. Relasi religi budaya yang dinamis. Mari berkunjung ke cagar budaya Gedung Batu, merasakan dan merawat kemajemukan bermasyarakat. Salam harmoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H