Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Tilik dan Pulang

24 Agustus 2020   22:14 Diperbarui: 24 Agustus 2020   22:28 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan....ini bukan tentang film pendek yang sedang viral. Menelisik kisah tilik dan pulang yang membuat keceriaan susuh keluarga. Menyulut bibir eh paruh menceriap tiada henti. Dari berisik hingga tak mampu berkata-kata.

Terminologi pulang dan tilik

Meminjam kisah keluarga burung yang bersusuh di tepian Rawa Pening. Induk pulang, begitu kata singkat. Celoteh riuh para piyik anak-anak burung menyambut gembira kepulangan induk. Apalagi melihat thotholan yang disemat diantara paruh.

Pulang ke susuh. Yuup susuh sederhana. Teranyam dari rerumputan yang bersifat fana. Menjadi lekat oleh air liur kasih sayang induk burung bagi keluarganya.

Thotholan karena mode kerjanya memang dithothol. Disantap dengan menggunakan paruh. Meski lazim disebut dipatuk, namun jarang dijumpai sebutan patukan. Thotholan mengait ilusi dithothol sehingga menambah kenikmatan. Itu juga istilah kami kalau menikmati penganan.

Saat membahagiakan induk burung adalah saat melatih para piyiknya belajar terbang. Saat mengharukan adalah melepas anak burung belajar membuat susuhnya sendiri.

Meski mereka memiliki susuh sarang sendiri secara berkala mereka mengepakkan sayap. Pulang.....

Kata pulang sungguh sederhana, terdiri dari 2 huruf hidup/vokal dan 4 huruf mati/konsonan. Mari berhitung, entah berapa kali sehari kita mengucapkannya. Energi yang terlontar dari kata pulang luar biasa.

Kata pulang selalu menceriakan susuh keluarga, saat anak burung menceriapkannya ke induk mereka. Tak perduli betapa sering dari interval jadwal mingguan hingga berjalin bulan. Tak peduli pula seberapa singkat dari semingguan hingga waktu singkat di Sabtu subuh hingga Minggu siang memanfaatkan liburan akhir pekan saja.

Singkatnya waktu maupun panjangnya jeda kejadian terulang tak mampu mengubah terminologi pulang menjadi tilik atau menjenguk. Kata pulang mampu memompakan semangat, meniupkan rasa tenteram. Kembali ke rumah, kembali ke asal, meringkuk di susuh yang membesarkannya dalam keluarga.

Bagi anak burung, kepergian dari susuh ke susuh induknya selalu menggunakan kata pulang. Rasanya tidak tega mengatakan tilik, menjenguk atau berkunjung kepada orang tua. Sehingga siklusnya pulang pergi dikatakan pulang-pulang.

Sebaliknya, secara berkala induk burung juga melakukan gerakan tilik atau berkunjung. Semangat yang sama. Tilik juga tidak selalu sebentar. Ada kalanya berbekal bontotan besar. Lumayan lama apalagi kalau ada tugas sampiran momong cucu.

Sekembalinya dari susuh anak ke susuh sendiri disebutnya pulang. Aha inilah perbedaannya. Bagi si induk, berkunjung ke susuh anak adalah tilik, kembalinya dikatakan pulang. Jadilah siklus tilik-pulang.

Sedikit inkonsistensi. Namun dipahami dalam aura keindukannya. Anak ke rumah orang tua beraroma pulang. Sedangkan orang tua ke rumah anak mengatakan tilik.

Antara tilik dan pulang, dimensi batin

Melongok dari Kamus Bahasa Indonesia, tilik bermakna penglihatan yang teliti (terutama penglihatan dengan mata batin). Seseorang yang sedang menilik, memiliki daya pandang yang baik dan tajam.

Teringat akan peran Penilik Sekolah (PS). Mencakup ranah tugas pengendalian mutu dan evaluasi. Meski suka dipelesetkan ah tukang tilik atau jenguk sekolah. Merangkum ketajaman analisis untuk mengendalikan kualitas.

Diperlukan sejumlah perangkat karakter juga kompetensi untuk melaksanakan tugas tilik, menilik ini. Kekritisan, kemampuan melihat ketepatan juga penyimpangan dari kondisi yang ada dihadapkan pada kondisi ideal. Sekaligus juga kemampuan memotivasi pihak yang ditilik.

Pun saat seseorang berseru, tiliklah hatiku. Permohonan dan penyerahan diri untuk selidikilah aku, selamilah hatiku, ujilah aku dan ketahuilah pikiranku. Meletakkan diri pada otorias Sang Penilik.

Nah bagaimana dengan pulang? Saat menyajikan artikel tentang pulang, ada sahabat yang memberikan komentar yang sungguh menarik.

"Berbahagialah ia yang telah menemukan jalan menuju pulang".

"Saya mengamini kalimat kawan tersebut, dan sangat bersyukur karena sangat tahu kemana harus pulang dan apa maknanya dalam hidup ini."

Bagi sahabat tersebut, kehidupan adalah perjalanan suatu jalinan episode tilik. Tak heran kita mengenal kosakata berpulang ke keabadian. Selamat melakukan tilik, aneka perkunjungan, mengasah ketajaman mata batin.

Lah koq menjadi bahasan serius. Berangkat dari kekepoan menilik antara tilik dan pulang. Dapat ditelisik secara berisik hingga perenungan senyap. Saatnya tilik...  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun