Bagi anak burung, kepergian dari susuh ke susuh induknya selalu menggunakan kata pulang. Rasanya tidak tega mengatakan tilik, menjenguk atau berkunjung kepada orang tua. Sehingga siklusnya pulang pergi dikatakan pulang-pulang.
Sebaliknya, secara berkala induk burung juga melakukan gerakan tilik atau berkunjung. Semangat yang sama. Tilik juga tidak selalu sebentar. Ada kalanya berbekal bontotan besar. Lumayan lama apalagi kalau ada tugas sampiran momong cucu.
Sekembalinya dari susuh anak ke susuh sendiri disebutnya pulang. Aha inilah perbedaannya. Bagi si induk, berkunjung ke susuh anak adalah tilik, kembalinya dikatakan pulang. Jadilah siklus tilik-pulang.
Sedikit inkonsistensi. Namun dipahami dalam aura keindukannya. Anak ke rumah orang tua beraroma pulang. Sedangkan orang tua ke rumah anak mengatakan tilik.
Antara tilik dan pulang, dimensi batin
Melongok dari Kamus Bahasa Indonesia, tilik bermakna penglihatan yang teliti (terutama penglihatan dengan mata batin). Seseorang yang sedang menilik, memiliki daya pandang yang baik dan tajam.
Teringat akan peran Penilik Sekolah (PS). Mencakup ranah tugas pengendalian mutu dan evaluasi. Meski suka dipelesetkan ah tukang tilik atau jenguk sekolah. Merangkum ketajaman analisis untuk mengendalikan kualitas.
Diperlukan sejumlah perangkat karakter juga kompetensi untuk melaksanakan tugas tilik, menilik ini. Kekritisan, kemampuan melihat ketepatan juga penyimpangan dari kondisi yang ada dihadapkan pada kondisi ideal. Sekaligus juga kemampuan memotivasi pihak yang ditilik.
Pun saat seseorang berseru, tiliklah hatiku. Permohonan dan penyerahan diri untuk selidikilah aku, selamilah hatiku, ujilah aku dan ketahuilah pikiranku. Meletakkan diri pada otorias Sang Penilik.
Nah bagaimana dengan pulang? Saat menyajikan artikel tentang pulang, ada sahabat yang memberikan komentar yang sungguh menarik.
"Berbahagialah ia yang telah menemukan jalan menuju pulang".