Pernikahan merupakan tahapan istimewa dalam kehidupan. Sebutan Raja dan Ratu sehari disematkan kepada pasangan yang menikah. Energi khusus dicurahkan untuk menyambut hari bersejarah ini.
Aneka pernak-pernik pernikahan diantaranya adalah undangan. Merunut ke waktu silam, terekam salin rupa undangan pernikahan. Mulai dari era lisan, tertulis hingga digital.
Mengalami menerima undangan pernikahan era "marah" disertai "tonjokan". Lanjut dengan undangan tertulis aneka ukuran pun rancangan yang diantar langsung hingga jasa kurir. Kini sering menerima undangan melalui pesan digital, kadang dalam kemasan "bala ombyokan".
Era Undangan Pernikahan Lisan, "Marah" Disertai "Tonjokan"
Setengah abad yang lalu, undangan pernikahan bersifat personal yang disampaikan secara lisan. Peristiwa pernikahan juga menjadi ranah komunal. Sulit sekali menangkupnya dalam urusan pribadi atau keluarga.
Besok Minggu Legi Bulan Besar, keluarga Besari hendak mantu. Putrinya, gendhuk Ayu Larasati disunting thole Bagus Darmawan. Berita bergulir dan menguar mulai dari Pasar Desa yang ramai setiap hari pasaran Wage.
Menjelang hari H, di rumah calon mempelai putri diadakan acara Kumbakarnan. Semacam rapat dengan formasi lengkap.Â
Salah satu yang dibahas adalah daftar undangan dan petugasnya. Kecuali acara yang bersifat climen (undangan diam-diam), daftar undangan akan digelar terbuka. Sangat tidak enak hati kalau ada tetangga yang terlewatkan.
Mulailah kegiatan "marah". Eits, ini bukan marah yang marah-marah. Mana ada keluarga berbahagia dimulai dengan acara berang.
"Marah" adalah kegiatan wara-wara, mewartakan undangan pernikahan kepada yang dituju. Mewara-wara jadilah sebutan "marah". Keluarga yang menyelenggarakan mengutus duta menyampaikan undangan secara langsung. Ada rasa ikatan personal.Â
Dirasa kurang elok kalau yang memiliki hajat datang bertandang. Seperti tidak ada keluarga atau utusan saja. Juga berapa banyak waktu yang dihabiskan.
Petugas yang diutus memiliki tipe yang khas. Umur sedang, penampilan rapi sederhana dengan tutur kata yang halus runtut. Luwes sekaligus cekatan. Yah, namanya juga duta utusan dari keluarga.
Begitupun urutan pembicaraan. Saya menjadi hafal karena suka ikut mendengarkan. Pertama menyampaikan salam. Dilanjutkan dengan tujuan yaitu mewartakan undangan pernikahan. Memohon doa restu dan perkenan hadir. Jawaban tuan rumah akan senada dengan urutan tersebut.
Keistimewaan petugas "marah" adalah berupaya berjumpa langsung dengan yang diundang. Sehingga beliau juga memilih waktu yang tepat semisal sore bakda Ashar atau Magrib.Â
Kadang harus datang kembali berkunjung. Saya kecil kadang "nyulihi" kalau orang tua tidak di rumah. "Iya Lik (paman), nanti saya haturkan kepada Bapak".
Nah, bagian ini yang saya suka. Acara "marah" biasanya dibarengi dengan "tonjokan". Lah marah dan tonjokan? Tenang. "Tonjokan" sebutan dari hantaran yang diberikan oleh pengundang kepada calon tetamu yang dimohon doa restunya.
Pengadaannya juga mandiri oleh kerabat yang hendak mengundang. Tentu saja dengan bantuan para tetangga. Asap yang membubung tinggi dari dapur layaknya antena penguat warta undangan pernikahan.
Ada kalanya "tonjokan" tidak pakem tenongan. Bergeser menjadi ukuran wadah lebih sederhana yaitu besek hingga rantang bersusun.Â
Sebagai anak, saya dan adik-adik, asik nyam-nyam. Ternyata hantaran juga berbanding lurus dengan doa restu dan uba rampe saat menghadiri undangan.
Era Kartu Undangan PernikahanÂ
Era berikutnya adalah mulai pudarnya undangan lisan. Luasan geografis penerima undangan menyebar, lah teman kerja berasal dari wilayah berbeda.Â
Undangan lisan salin rupa menjadi tulisan. Maraknya bisnis kartu undangan pernikahan.
Kartu undangan menjadi "sulih sarira" alias pengganti kehadiran pengundang. Aneka variasi mulai yang bersifat favorit dan digunakan oleh banyak keluarga pengundang, dengan mengisi nama yang diundang.
Hingga yang dirancang khusus dengan harga khusus pula. Kreativitas yang mendulang rezeki. Kartu undangan menjadi penciri pengundang.
Petugas "marah" digantikan oleh petugas profesional lain. Nah, ikutannya "tonjokan" juga lebih jarang berkunjung. Namun untuk undangan tertentu tetap disertakan "tonjokan" kekinian.Â
Bentuknya tidak sebaku dahulu, kemasan menjadi lebih indah kreatif. Semisal kue hantaran ataupun lauk tertata apik.
Ada kalanya petugas "marah" adalah Pak Pos, mas kurir jasa hantaran. Mungkin juga ada ya "tonjokan" apalagi kalau berupa tiket pesawat agar kita bisa hadir di acara pernikahan pengundang. Sungguh nonjok euy.
Era Undangan Digital Bonus Rasa "Bala Ombyokan"
Digitalisasi merambah ke segala aspek, termasuk urusan undangan pernikahan. Tanpa mengurangi rasa hormat, kita bisa mengirim foto undangan dengan nama beliau secara personal.
Mengirimkannya melalui surat elektronik. Bahkan kini era WA menjadi petugas "marah" mewartakan undangan pernikahan.
Bergeser undangan personal menjadi grup. Salin rupa dan rasa "bala ombyokan" dalam kawanan atau kumpulan. Tidak perlu galau tidak disebut nama secara khusus. Tentunya juga diperhitungan untuk penyambutan saat resepsi, agar tidak berabe persediaan pendukungnya.
Apapun pilihan kita, sah-sah saja. Utamanya adalah negasi pernyataan syukur sukacita sekaligus permohonan doa restu apalagi melalui kehadiran.
Sekilas merunut dinamika undangan pernikahan. Salin rupa undangan pernikahan, dari "marah" hingga "bala ombyokan".
Catatan: diwarnai dengan adat budaya Jawa. Tentunya setiap wilayah memiliki kekhasan adat budaya dalam undangan pernikahan. Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI