Begitupun urutan pembicaraan. Saya menjadi hafal karena suka ikut mendengarkan. Pertama menyampaikan salam. Dilanjutkan dengan tujuan yaitu mewartakan undangan pernikahan. Memohon doa restu dan perkenan hadir. Jawaban tuan rumah akan senada dengan urutan tersebut.
Keistimewaan petugas "marah" adalah berupaya berjumpa langsung dengan yang diundang. Sehingga beliau juga memilih waktu yang tepat semisal sore bakda Ashar atau Magrib.Â
Kadang harus datang kembali berkunjung. Saya kecil kadang "nyulihi" kalau orang tua tidak di rumah. "Iya Lik (paman), nanti saya haturkan kepada Bapak".
Nah, bagian ini yang saya suka. Acara "marah" biasanya dibarengi dengan "tonjokan". Lah marah dan tonjokan? Tenang. "Tonjokan" sebutan dari hantaran yang diberikan oleh pengundang kepada calon tetamu yang dimohon doa restunya.
Pengadaannya juga mandiri oleh kerabat yang hendak mengundang. Tentu saja dengan bantuan para tetangga. Asap yang membubung tinggi dari dapur layaknya antena penguat warta undangan pernikahan.
Ada kalanya "tonjokan" tidak pakem tenongan. Bergeser menjadi ukuran wadah lebih sederhana yaitu besek hingga rantang bersusun.Â
Sebagai anak, saya dan adik-adik, asik nyam-nyam. Ternyata hantaran juga berbanding lurus dengan doa restu dan uba rampe saat menghadiri undangan.
Era Kartu Undangan PernikahanÂ
Era berikutnya adalah mulai pudarnya undangan lisan. Luasan geografis penerima undangan menyebar, lah teman kerja berasal dari wilayah berbeda.Â
Undangan lisan salin rupa menjadi tulisan. Maraknya bisnis kartu undangan pernikahan.
Kartu undangan menjadi "sulih sarira" alias pengganti kehadiran pengundang. Aneka variasi mulai yang bersifat favorit dan digunakan oleh banyak keluarga pengundang, dengan mengisi nama yang diundang.