Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Belajar Peduli Kesehatan Mental dari Pupuh Tembang Dandanggula

12 Oktober 2019   00:40 Diperbarui: 12 Oktober 2019   15:14 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selarik kidung dilantunkan di malam senyap. Segera aura perbawanya menyergap pendengaran masyarakat sekitarnya. Tanpa komando semua segera menyimak, terhisap liriknya yang membius pendengaran.

"Ayoo pada tenang, itu Mbah ngidung, Pak Lik sedang rewel" Tanpa penjelasan rinci, kami segera maklum bila putra Mbah tetangga yang keseharian tampak berbeda membutuhkan ketenangan. Komunitas sekitar juga mendukung, memumpun empati dalam diam dan doa.

Gangguan kesehatan mental dalam komunitas puluhan tahun silam

Tembung Pak Lik sedang 'rewel' mengait pada kondisi kambuh pada seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan. Kejadian puluhan tahun silam sangat membekas dalam ingatan. Penghalusan kosa kata untuk menenggang rasa Mbah.

Kata 'rewel' yang sungguh berbeda dengan ungkapan adik sedang rewel, menangis cukup lama. Penanganan anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan mental yang terbatas pada zamannya.

Seringnya dikaitkan dengan guna-guna oleh pihak lain. Ada pula yang mengatakan diganggu oleh mahluk halus penunggu tempat keramat.

Bermula dari gejala yang ringan semisal gelisah berlebihan. Ketakutan yang mencekam hingga berteriak tak terkontrol. Halusinasi hingga berbicara sendirian seolah sedang ngobrol dengan aneka ekspresi. Hingga berkembang menjadi membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Penanganannya sungguh tanpa dampingan medis. Mulai dari di 'suwuk' dicarikan mantra hingga paling parah dipasung. Yak itu kisah lama yang semoga tak lagi dijumpai.

Kesehatan mental dalam perspektif kini

Gangguan mental atau gangguan jiwa merujuk kepada penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya (satu). Penderita mengalami gangguan yang berdampak pada letupan emosi yang labil, pola pikir kacau hingga perilaku berbeda bahkan destruktif.

Aneka tingkatan gangguan mental. Laiknya penyakit fisik, penyakit gangguan mental juga membutuhkan penanganan dan pengobatan. Tidak lagi zamannya penderita gangguan mental dikucilkan, namun perlu perawatan. 

Kompleksitas kehidupan memicu munculnya aneka stressor penyebab stres. Aneka variasi gangguan yang mempengaruhi kestabilan emosi. Mulai yang mengarah ke dalam, menjadi penyendiri, menutup diri hingga yang eksplosif.

Kesehariannya tetap dapat melaksanakan aktivitas, seolah tidak berbeda dengan orang lain. Tanpa pengenalan dan deteksi dini dapat berkembang ke tahap yang lebih parah.

Kini perhatian terhadap masalah kesehatan mental mengalami perbaikan. Kesadaran diri dan keluarga inti maupun pendukung meningkat. Dukungan publik juga kian ramah.

Klinik psikologi, psikiatri menduduki tempat yang setara dengan klinik gigi, klinik jantung. Ada pribadi yang memiliki masalah gangguan jantung. Mengapa harus dibedakan dengan penderita masalah gangguan mental atau kejiwaan.

Hari kesehatan mental sedunia

Permasalahan gangguan mental bukan hanya bersifat lokal kasuistik. Menjadi keprihatinan tingkat global. Hingga dicetuskannya hari kesehatan jiwa sedunia yang digaungkan setiap tanggal 10 Oktober (dua). Diinisiasi oleh the World Federation for Mental Health pada tahun 1992. Fokus untuk tahun 2019 adalah masalah bunuh diri.

Penyadaran masalah kesehatan mental yang sederap dengan upaya peningkatan masalah kesehatan fisik. Bila teknologi peningkatan kesehatan fisik semakin berkembang. Tentunya layak pula bila kesadaran, pendekatan dan pengobatan kesehatan jiwa juga sepadan.

Upaya edukasi masyarakat yang berkelanjutan. Penerimaan dan tak menjadikannya tabu dalam perbincangan. Penderita dan keluarganya diberi kesempatan mendapat penjelasan, diterima dengan wajar di tengah komunitas umum.

Komunitas mendapat edukasi untuk menerima seseorang yang sedang menderita gangguan kejiwaan dengan aneka tingkatannya. Penerimaan yang menjadikannya bersemangat mencari upaya kesembuhan.

Era komunikasi global mempermudah transfer teknologi dan rekayasa penanganan penyembuhannya. Pendekatan teknologi, psikologi hingga ranah rekayasa sosial.

Belajar Peduli Kesehatan Jiwa dari Pupuh Tembang Dandanggula

Kembali pada cerita di awal tulisan. Kidung yang ditembangkan Mbah adalah sebagian pupuh (bait) Dandanggula. Salah satu dari tembang Macapat.

Pada dasarnya, tembang macapat adalah geguritan (puisi berbahasa Jawa) yang dibawakan dengan nada terpola. Macapat mencakup 11 tembang dari Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, hingga Pocung.

Tembang yang melambangkan siklus kehidupan manusia sejak masih dalam kandungan. Seperti pada maskumambang, janin berharga melebihi emas yang berada di rahim sang bunda. Asmarandana, saat asmara laksana dahana atau api yang membakar.

Durma, saatnya manusia berderma, apapun dari hidupnya. Pangkur, saatnya manusia undur dari hiruk pikuknya duniawi, menggapai berkat sorgawi. Hingga berakhir pada Pocung, saat manusia meninggal dipocong kembali ke asalnya tanah.

Tembang macapat, penerimaan diri manusia memiliki tahapan tanpa bisa ditawar waktunya. Macapat juga masalah berdamai dengan diri sendiri, dengan sesama dan alam. Menempatkan diri pada kedaulatan kuasa Tuhan. Bukankah ini menjadi modal dasar pengelolaan kesehatan mental?

Kidung yang saya dengar saat kecil adalah tembang macapat Dandanggula anggitan Sunan Kalijaga. Sejumlah pupuh sebagai media dakwah. Pupuh pertama sungguh terkenal dengan sebutan mantra wredha atau kidung mantra tolak bala (tiga).

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jin setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna

Terjemahan bebas dengan makna yang tidak sedalam aslinya. Kidung lantunan doa di waktu malam. Permohonan agar sentausa terbebas dari penyakit. Terbebas dari semua bencana. Jin dan setanpun tidak mau menyentuh. Teluh sihir tidak ada yang berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tidak mempan. Api laksana air. Pencuripun tiada yang menuju diri. Segala bahaya akan sirna.

Saat Mbah nembang untuk Pak Lik yang rewel. Mbah menempatkan diri manusia sebagai titah hamba Tuhan. Mendaraskan doa di keheningan malam. Memohon dijauhkan dari segala penyakit baik fisik maupun jiwa.

Kadang dilanjutkan dengan pupuh ini, larik terakhir penegasan bahwa oleh kuasaNya, gangguan kejiwaan segera pulih. Tidak 'rewel' lagi. Persemaian benih sadar kesehatan mental.

Wiji sawiji mulane dadi
Apan pencar saisining jagad
Kasembadan dening zate
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen winacakna ing toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan nuli waras

Gangguan jiwa yang secara kultural saat itu diyakini sebagai teluh, sihir, guna-guna. Ataupun gangguan dari makluk halus penunggu alam. Semua dimohonkan enyah dari keluarga. Tembang yang menempatkan diri pada harmoni relasi.

Alampun mendukung doa kidung si Mbah. Malam yang senyap menjadi media perambat suara yang tanpa hambatan. Dinding rumah yang saat itu kebanyak berupa jajaran bilah papan maupun anyaman bambu, menyisakan rongga menyusupkan suara.

Lantunan doa pribadi menjalar ke rumah-rumah tetangga menjadi doa komunal. Empati terjadi tanpa rekayasa, seluruh tetangga mendukung doa si Mbah agar 'rewel'nya Pak Lik mereda. Penanganan gangguan kesehatan jiwa masa tersebut.

Apakah mantra tersebut masih manjur hingga kini? 

Dengan pemaknaan kekinian edukasi masyarakat agar memiliki kepedulian terhadap kesehatan mental. Menggunakan teknologi komunikasi kekinian untuk mengakses pertolongan. Semua ditempatkan sebagai wujud berkat pertolongan Tuhan.

Mbah yang nembang, menunjukkan keluarga atau siapapun yang mengalami gangguan kesehatan mental tidak diam saja. Mencari penjelasan. Membuka diri untuk mendapatkan pertolongan.

Para tetangga yang mendengar tembang dan mendukung dalam doa komunal. Menggambarkan kepedulian lingkungan. Tidak menutup telinga atas suara lirih atau teriakan sesama. Tanpa penghakiman yang menjauhkan dari upaya kesembuhan.

Pengelolaan sadar kesehatan mental berbasis kearifan lokal. Kekayaan budaya bangsa Indonesia. Belajar Peduli Kesehatan Mental dari Pupuh Tembang Dandanggula Salam sehat.

Sumber: satu, dua, tiga, empat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun