Gangguan jiwa yang secara kultural saat itu diyakini sebagai teluh, sihir, guna-guna. Ataupun gangguan dari makluk halus penunggu alam. Semua dimohonkan enyah dari keluarga. Tembang yang menempatkan diri pada harmoni relasi.
Alampun mendukung doa kidung si Mbah. Malam yang senyap menjadi media perambat suara yang tanpa hambatan. Dinding rumah yang saat itu kebanyak berupa jajaran bilah papan maupun anyaman bambu, menyisakan rongga menyusupkan suara.
Lantunan doa pribadi menjalar ke rumah-rumah tetangga menjadi doa komunal. Empati terjadi tanpa rekayasa, seluruh tetangga mendukung doa si Mbah agar 'rewel'nya Pak Lik mereda. Penanganan gangguan kesehatan jiwa masa tersebut.
Apakah mantra tersebut masih manjur hingga kini?Â
Dengan pemaknaan kekinian edukasi masyarakat agar memiliki kepedulian terhadap kesehatan mental. Menggunakan teknologi komunikasi kekinian untuk mengakses pertolongan. Semua ditempatkan sebagai wujud berkat pertolongan Tuhan.
Mbah yang nembang, menunjukkan keluarga atau siapapun yang mengalami gangguan kesehatan mental tidak diam saja. Mencari penjelasan. Membuka diri untuk mendapatkan pertolongan.
Para tetangga yang mendengar tembang dan mendukung dalam doa komunal. Menggambarkan kepedulian lingkungan. Tidak menutup telinga atas suara lirih atau teriakan sesama. Tanpa penghakiman yang menjauhkan dari upaya kesembuhan.
Pengelolaan sadar kesehatan mental berbasis kearifan lokal. Kekayaan budaya bangsa Indonesia. Belajar Peduli Kesehatan Mental dari Pupuh Tembang Dandanggula Salam sehat.
Sumber: satu, dua, tiga, empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H