Yup, Kompasiana layaknya bursa surat cinta yang selalu membanjiri pembaca pujaan hati. Mulai surat cinta yang maha kompleks hingga surat cinta sederhana.
Ada pula perakit surat cinta seadanya. Racikan remah keseharian yang terlihat di kebun. Sering berlepotan debu tanah maupun tinta luntur kehujanan. Lah yang ini saya ngaku duluan.
Sejatinya, setiap kompasianer adalah penulis surat cinta bagi pembacanya. Merakit surat cinta yang menanamkan benih harapan. Merimbun dengan dedaunan yang meneduhkan. Menyalurkan buah yang memberikan manfaat bagi pembacanya adalah karunia berkat.
Namun perlu disadari juga, bahwa setiap penulis Kompasiana juga pembelajar. Tak selamanya surat cinta yang dianggit mulus mewartakan bahagia. Utamanya berproses menulis, biarkan tulisan menemukan takdirnya. Bila gugurpun biar jadi kompos penyubur.
Pembaca Kompasiana pelabuhan cinta kompasianer
Dikau adalah pelabuhan cinta terakhirku. Frasa mendebarkan pada surat cinta khusus. Surat cinta kompasianer melabuhkan diri pada banyak hati pembacanya.
Pembaca membuka hati menerima begitu banyak surat cinta. Keterbatasan waktu membuatnya menjadi pemilih. Mengenali gaya dan kesatuan rasa racikan surat yang diterima.
Cukup banyak pembaca yang memiliki hati seluas samudera, menerima seluruh surat cinta dengan terbuka. Menikmatinya satu persatu, menjalin ikatan dengan penulisnya.
Banyak pembaca layaknya pelabuhan besar. Menampung banyak baita cinta dari banyak penganggit surat. Merespon dengan hangat, memberikan perhatian pada larik-larik cerita yang terangkai.
Beberapa pembaca memiliki ceruk sandaran yang khas. Hangat merespon persembahan tulisan. Bukan abai terhadap sajian lain. Keterbatasan luasan ceruk yang menakarnya.
Interaksi pembaca dan penulis