Sajian makanan mampu menyentuh panca indra kita penikmatinya. Dari indra penglihatan, tersaji komposisi warna maupun bentuk yang memikat. Indra penciuman, segera menghidu aroma yang khas untuk mengenali komponen penyusunnya. Indra peraba tak mau kalah, merasakan teksturnya, kelembutan, kekenyalan dan sebutan lain yang mengena di hati.
Tak lengkap bila indra rasa pencecap tak berperan serta. Olah lidah mendesiskan seruan rasa yang tercecap. Alat pendengaranpun saling mengait berkontribusi mengaitkan apa yang sudah pernah didengarnya. Lengkap sudah panca indra berkolaborasi untuk memerikan narasi penganan ini.
Begitupun saat mendapati satu piring suguhan saat acara maralop di wilayah Simalungun. Indra penglihatan, penciuman dan pendengaran segera memerintah otak dan ucap menyeru, ooh dayok binatur. Tentunya segera dibarengi ketrampilan tangan dan lidah.
Ternyata tak hanya berhenti mengait panca indra. Tampilan suguhan ini menyeret indra keenam, indra alat untuk merasakan sesuatu secara naluri (intuitif). Pastilah ada makna tersirat mengapa penganan ini hadir di acara adat. Naluri yang memancing rasa kepo sedikit ingin lebih tahu.
Teringat pernah membacanya, 'Dayok Binatur' asal Sumatera Utara, khususnya Simalungun secara resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda tingkat nasional (medanbagus.com). Dimeteraikan melalui sertifikat nomor 63368/MPK.E/KB/2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Untaian Doa dalam Dayok Binatur
Penampilan dayok binatur yang ditata dalam piring, terlihat susunan aneka potongan sebagai seekor ayam utuh. Mulai dai bagian Ulu (kepala) dibagian depan hingga Ihur (ekor) di bagian belakang Secara harafiah, penamaan dayok bermakna ayam dan binatur adalah diatur agar teratur. Daging ayam yang dipersiapkan, dimasak dan ditata sesuai adat.
Bersyukur mendapat pembelajaran langsung dari sekjen Partuha Maujana Simalungun (PMS), Bapak Japaten Purba selaku protokol acara. Dayok binatur selalu ada dalam acara adat baik keagamaan maupun tradisi sosial. Dayok binatur sering diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar kehidupannya berada dalam keteraturan. Laiknya untaian doa dalam dayok binatur.
Warisan Budaya Tak Benda Tingkat Nasional dari Simalungun Kaya Filosofi
Warisan budaya meliputi benda atau atribut tak berbenda yang merupakan jati diri suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya. Pewarisan untuk  melestarikannya bagi  generasi penerus. Warisan budaya dapat berupa benda, seperti monumen, artefak, dan kawasan, atau tak benda, seperti tradisi, bahasa, dan ritual.
Secara hierarki dikenal warisan budaya dunia (world heritage) yang ditetapkan oleh UNESCO. Pada tingkat nasional juga ditetapkan warisan budaya. Secara berkala dilakukan evaluasi. Nah Dayok Binatur khas Simalungun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Â tingkat nasional. Ditandai melalui sertifikat nomor 63368/MPK.E/KB/2016 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dayok binatur termasuk ranah kemahiran dan kerajinan tradisional untuk mendukung ritual tradisi.
Pemilihan ayam yang termasuk unggas kaya protein hewani dibarengi filosofi khas. Ayam jantan simbol pekerja keras, berkokok dinihari, gagah dan ulet bekerja. Ayam betina dengan kerelaan menahan diri bahkan berpuasa saat mengerami telurnya. Siap mengembangkan sayapnya untuk melindungi anak dari bahaya. Sekaligus siap melepaskan anaknya untuk mandiri ceker-ceker.
Saat memasaknya juga dibutuhkan sifat jujur, teliti, tak diizinkan ada bagian atau potongan yang tertinggal agar dapat tersusun ayam utuh. Aha, dibutuhkan pengetahuan pemahaman anatomi tubuh ayam. Terdapat bahan khas saat memasaknya yaitu sari remasan batang sikkam (salam) yang dimemarkan.
Begitupun saat menyampaikan kepada penerima pada acara tradisi terasa khas. Pemberi, bisa bapak ibu memberikan kepada anak sebagai penerima. Beberapa pasang tangan saling memegang wadah dayok binatur. Terjadi transfer energi positif estafet doa antar generasi.
Doa keteraturan untuk orang yang dikasihi. Betapa dahsyatnya bila doa ini digerakkan secara nasional menjadi keteraturan bangsa. Pantaslah nilai filosofi dayok binatur dari Simalungun dinikmati menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) tingkat nasional, menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Relasi Keutuhan Pencipta dan Ciptaan
Sepiring dayok binatur, potongan ayam yang teratur sebagai keutuhan melambangkan relasi keutuhan pencipta dan ciptaan. Betapa sebagai titah, manusia bersandar pada penyelenggaraan Tuhan. Melantunkan doa untuk keteraturan hidup para anak-anaknya.
Mengait pada kultur antar suku, ada kemiripan dengan filosofi ayam/pitik ingkung dalam tradisi ritual Jawa. Dari ayam ingkung yang utuh dicuil, potong alami dengan tangan bahkan disuwir menjadi banyak bagian. Pun sari dari relasi keutuhan ciptaan model Bali yang terkenal dengan Trihitakarana. Tiga penyebab kebahagiaan yang bersumber pada hubungan manusia dengan sesama manusia, alam sekitar, dan Tuhan Sang Pencipta.
Ternyata dari suapan makanan tak hanya asupan gizi dan citarasa yang didapat. Pembelajaran filosofi budaya juga dapat diserap. Menambah syukur 'gizi jiwa' dari kuliner Nusantara.Â
Selamat bersantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H