Saat memasaknya juga dibutuhkan sifat jujur, teliti, tak diizinkan ada bagian atau potongan yang tertinggal agar dapat tersusun ayam utuh. Aha, dibutuhkan pengetahuan pemahaman anatomi tubuh ayam. Terdapat bahan khas saat memasaknya yaitu sari remasan batang sikkam (salam) yang dimemarkan.
Begitupun saat menyampaikan kepada penerima pada acara tradisi terasa khas. Pemberi, bisa bapak ibu memberikan kepada anak sebagai penerima. Beberapa pasang tangan saling memegang wadah dayok binatur. Terjadi transfer energi positif estafet doa antar generasi.
Doa keteraturan untuk orang yang dikasihi. Betapa dahsyatnya bila doa ini digerakkan secara nasional menjadi keteraturan bangsa. Pantaslah nilai filosofi dayok binatur dari Simalungun dinikmati menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) tingkat nasional, menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Relasi Keutuhan Pencipta dan Ciptaan
Sepiring dayok binatur, potongan ayam yang teratur sebagai keutuhan melambangkan relasi keutuhan pencipta dan ciptaan. Betapa sebagai titah, manusia bersandar pada penyelenggaraan Tuhan. Melantunkan doa untuk keteraturan hidup para anak-anaknya.
Mengait pada kultur antar suku, ada kemiripan dengan filosofi ayam/pitik ingkung dalam tradisi ritual Jawa. Dari ayam ingkung yang utuh dicuil, potong alami dengan tangan bahkan disuwir menjadi banyak bagian. Pun sari dari relasi keutuhan ciptaan model Bali yang terkenal dengan Trihitakarana. Tiga penyebab kebahagiaan yang bersumber pada hubungan manusia dengan sesama manusia, alam sekitar, dan Tuhan Sang Pencipta.
Ternyata dari suapan makanan tak hanya asupan gizi dan citarasa yang didapat. Pembelajaran filosofi budaya juga dapat diserap. Menambah syukur 'gizi jiwa' dari kuliner Nusantara.Â
Selamat bersantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H