Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Karakter Sengkuni dalam Diri

30 Januari 2019   19:41 Diperbarui: 7 Juli 2021   18:12 4088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga : Amien Rais bukan Sengkuni, tapi Elvis Presley

Apakah benar Sengkuni sudah musna? Ternyata sebelum Sengkuni musnah di padang Kurusetra saat perang bharatayudha, sempat melakukan cloning alias penggandaan diri. 

Bahkan mengalami mutasi genetik untuk meningkatkan kekebalan. Salah satu indikasinya, upaya pemblejetan alias dikuliti hidup-hidup di media masa tak lagi membuat jera watak ular berbisa. Malah berbalik memanfaatkan media masa sebagai sarana propaganda. Kloningan karakter sengkuni abadi hingga kini.

Menyelisik Karakter Sengkuni dalam Diri

Pada awalnya, titah diciptakan segambar dengan Sang Pencipta. Kisah Taman Eden menyebutkan awal jatuhnya manusia dalam dosa. Citra yang ternoda. Titah selanjutnya diperanakkan di luar Eden. Karakter sengkuni menyelinap di dalamnya.

Benih karakter sengkuni merasuk ke dalam setiap diri mempengaruhi memenangkan pribadi. Kepekaan nurani sedang diasah untuk mampu mengenali dan memilah bisikannya. Saat titah mengadu ke Hyang Wenang, mengapa jiwa sengkuni tetap ada dan mengganggu kedamaian bersama? Mendapati jawab agar kebenaran semakin gencar disuarakan.

Karakter sengkuni tak hanya berada di luar sana. Daya wisa/racun yang berasal dari uni atau ujaran berada di mana-mana termasuk dalam diri kita. Kala tangan menunjuk pihak lain sebagai sengkuni, tangan lain mengingatkan eh karakter sengkuni dirikah yang berlaga. 

Setiap pribadi diajak untuk menelisik diri, bijak merangkai dan menggunakan kata. Menyikapi ujaran kebencian tanpa harus menebarkannya. Menyilihnya dengan ujaran damai.

Simbol mulut yang robek menjadi pengingat betapa dari ujaran, kedamaian diusik. Pengingat bijak menggunakan mulut, jemari dalam menulis dan menebarkannya. 'Simbol mulut digital' yang dijaga oleh rambu-rambu nurani.

Semoga tulisan ini juga dijauhkan dari jelmaan karakter sengka uni....dari ujaran yang menyulut kesia-siaan. Pengingat diri introspeksi wening menjaga uni. Salam damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun