Akhir-akhir ini tokoh Sengkuni marak dibicarakan. Rata-rata dengan nada tinggi bermuatan kejengkelan. Kalau diselisik, karakter sengkuni ada dalam setiap diri kita loh. Sebelum diprotes warga Kompasiana, mari kita selisik lebih lanjut.
Metamorfose Sengkuni
Alkisah seorang teruna bernama Harya Suman dari kanagarian Plasajenar. Berparas rupawan, cendekiawan dengan tutur kata menawan. Bermodalkan kemonceran akal dan keluwesan tutur kata, memikat banyak pihak. Potensi diri luar biasa karunia Hyang Maha Wikan.
Perjalanan waktu, menguji kemurnian potensi diri dengan ambisi pribadi. Kepandaian akal sedikit bergeser menjadi mengakali. Menyemai bibit kelicikan seolah tak kelihatan. Memelintir kebenaran sebagai alat mencapai tujuan pribadi maupun golongan. Awalnya nurani diri mengingatkan, namun lama-lama menjadi keterusan oleh pembiasaan.
Baca juga :"Abdullah bin Ubah, Janus, Sengkuni dan Munarman"
Brak..... mulut Harya Suman dirobek oleh Patih Gandamana yang menjadi korban fitnahnya. Saatnya terbukti, bubrahnya tatanan oleh pemutarbalikan fakta. Sangka uni....sengka uni...[berawal dari perkataan] jadilah Sengkuni alias Sangkuni si lidah ular berbisa.
Metamorfose terjadi. Harya Suman rupawan menjadi Sengkuni. Tokoh dalam wiracarita Mahabarata maupun pewayangan dengan gambaran mulut yang robek. Pengingat akan kehati-hatian dalam berolah kata. Akar kepahitan tak menjadikannya kapok namun malah semakin mahir memelintir ujaran alias uni. Tokoh antagonis dengan perilaku menjengkelkan
Baca juga : "Meruwat Sengkuni"
Daya wisa Sengkuni semakin menjadi, seolah tokoh tak kenal mati. Mati lalu hidup lagi, beruang kali terjadi. Secara wadag kebal senjata oleh baluran minyak tala disekujur tubuhnya. Hukum alam menunjukkan sehebat apapun titah selalu ada celah kelemahan dan Semar-pun membisikan disini lho celahnya.... [hayo pembaca Kompasiana, dimana celah kelemahan Sengkuni?]
Melalui celah tersebut Sengkuni diblejeti, dikuliti hidup-hidup oleh Bima. Sebagai bagian pengajaran hanya melalui pemblejetan total sarana musnahnya Sengkuni. Kisah tewasnya Sengkuni juga beragam. Sebagian menuliskan oleh Sadewa si kembar bungsu Pandawa, kisah lain oleh gada Bima. Pun penyebutan, saat dikuliti hidup-hidup Sengkuni masih bertahan sekarat, tuntasnya oleh gigitan Duryudana yang berakhir dengan kematian bersama.
Baca juga : Amien Rais bukan Sengkuni, tapi Elvis Presley
Apakah benar Sengkuni sudah musna? Ternyata sebelum Sengkuni musnah di padang Kurusetra saat perang bharatayudha, sempat melakukan cloning alias penggandaan diri.Â
Bahkan mengalami mutasi genetik untuk meningkatkan kekebalan. Salah satu indikasinya, upaya pemblejetan alias dikuliti hidup-hidup di media masa tak lagi membuat jera watak ular berbisa. Malah berbalik memanfaatkan media masa sebagai sarana propaganda. Kloningan karakter sengkuni abadi hingga kini.
Menyelisik Karakter Sengkuni dalam Diri
Pada awalnya, titah diciptakan segambar dengan Sang Pencipta. Kisah Taman Eden menyebutkan awal jatuhnya manusia dalam dosa. Citra yang ternoda. Titah selanjutnya diperanakkan di luar Eden. Karakter sengkuni menyelinap di dalamnya.
Benih karakter sengkuni merasuk ke dalam setiap diri mempengaruhi memenangkan pribadi. Kepekaan nurani sedang diasah untuk mampu mengenali dan memilah bisikannya. Saat titah mengadu ke Hyang Wenang, mengapa jiwa sengkuni tetap ada dan mengganggu kedamaian bersama? Mendapati jawab agar kebenaran semakin gencar disuarakan.
Karakter sengkuni tak hanya berada di luar sana. Daya wisa/racun yang berasal dari uni atau ujaran berada di mana-mana termasuk dalam diri kita. Kala tangan menunjuk pihak lain sebagai sengkuni, tangan lain mengingatkan eh karakter sengkuni dirikah yang berlaga.Â
Setiap pribadi diajak untuk menelisik diri, bijak merangkai dan menggunakan kata. Menyikapi ujaran kebencian tanpa harus menebarkannya. Menyilihnya dengan ujaran damai.
Simbol mulut yang robek menjadi pengingat betapa dari ujaran, kedamaian diusik. Pengingat bijak menggunakan mulut, jemari dalam menulis dan menebarkannya. 'Simbol mulut digital' yang dijaga oleh rambu-rambu nurani.
Semoga tulisan ini juga dijauhkan dari jelmaan karakter sengka uni....dari ujaran yang menyulut kesia-siaan. Pengingat diri introspeksi wening menjaga uni. Salam damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H