Meninggalnya Ratu Elizabeth II tidak hanya memberikan  kedukaan bagi keluarga, rakyat Britania beserta persemakmurannya, namun juga dunia. Mangkat di usia 96 tahun menjadikannya sebagai pemegang kekuasaan terlama sepanjang sejarah Britania Raya yaitu 70 tahun. Sebagai Ratu kerajaan monarki terbesar dunia, apa yang dapat kita pelajari dari perjalanan hidupnya?
Kapasitas Pemimpin Tidak Selalu ditentukan oleh Usia dan Gender
Menjabat sebagai Ratu di usia yang masih muda yaitu 27 tahun, nyatanya Ratu Elizabeth tidak kehilangan pamor di mata pejabat, prajurit, dan rakyatnya. Selain usianya yang masih muda, saat itu dunia cukup kacau dan sedang menata peradaban akibat Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Bahkan sebelum dilantik, dirinya sering mewakili ayahnya raja George VI dalam pertemuan diplomatik dan politik.
Menariknya, sesaat setelah naik tahta, dirinya berjanji untuk setia hingga akhir hayatnya melayani Inggris dan persemakmurannya. Hal ini kemudian dibuktikan dengan masih aktifnya di usia yang sudah lansia, dia masih muncul di public bahkan dua hari sebelum kematiannya. Berbeda dengan ayahnya dulu yang sempat mewakilkan urusan kenegaraan pada dirinya saat sedang sakit-sakitan.
Berbeda dengan Monarki di Timur yang cukup bias jender dimana yang diperbolehkan menjadi raja adalah Pria, monarki di Eropa lebih menganggap jender setara dan lebih mengutamakan factor hereditas yaitu anak tertua raja terlepas dia pria atau wanita.Â
Hal ini dibuktikan dengan naik tahtanya ratu Inggris yang terkenal yaitu Ratu Victoria dan Ratu Elizabeth. Bahkan saat Indonesia dijajah oleh Belanda, saat itu Belanda juga sedang dikuasai seorang ratu yaitu ratu Wilhelmina.
Meski Monarki Timur kini bias gender, nyatanya Nusantara pernah juga dipimpin banyak Ratu, Misalnya Ratu Kalinyamat, Tribuanatunggadewi, Gayatri Rajapatni, Dyah Tulodhong, Dyah Suhita, Ratu Shima, Empat generasi Sultanah di Aceh mulai dari Ratu Safiatudin, Naqiatudin, Zaqiatudin, dan Zainatudin.
Sultanah terakhir Zainatudin ini dilengserkan oleh lawan politiknya yang berdalih bahwa dalam Islam perempuan dilarang menjadi pemimpin dengan mendatangkan ulama dari Arab. Ulama tersebut melengserkan Sang Ratu atas dasar tafsir Al Qura. Â Berikut Salah satu ayat yang sering jadi rujukan adalah ayat ke-34 surat an-Nisa:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Perkataan qowwamun sering diartikan sebagai pemimpin. Konsekuensinya ayat ini memposisikan yang memimpin dengan yang dipimpin. Penafsiran ini tidak salah. Namun sayangnya sering menjadi landasan ketidaksejajaran pria dan wanita.
 penafsiran itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dengan formula bahwa pria lebih superior dari wanita. Padahal perkataan qawwam, sebagaimana dijelaskan penafsir kontemporer Asad, berarti seseorang yang bertanggung jawab untuk memelihara barang maupun orang. Kalimat ''qama 'ala mar'ihi'' bermakna ''dia bertanggung jawab mengayomi seorang perempuan.'' (Republika, 2020)
Tidak Mendikotomikan Karir maupun Keluarga
Meskipun telah menyatakan diri setia terhadap Britania Raya dan persemakmurannya, ratu Inggris mampu mempertahankan kehidupan rumah tangga hingga 70 tahun lebih bersama suaminya Pangeran Philip dan 4 anaknya yaitu Charles, Anne, Andrew, dan Edward. Keutuhan rumah tangga yang sangat lama ini tentu menepis anggapan umum wanita bahwa berkarir diluar rumah akan mengorbankan keluarganya.
Nyatanya, tidak hanya memiliki keluarga yang utuh, Sang Ratu menjadi kepala Negara paling ramah di dunia dengan berhasilnya mengukir sejarah/ rekor sebagai kepala negara yang paling banyak bekeliling dunia dalam rangka melakukan aktivitas kunjungan kenegaraan .
Selain itu, dia juga banyak memberikan inspirasi bagi putra-putrinya.  Dalam pidato kenegaraan King Charless III anak tertuanya mengaku terinspirasi dari ibunya Ratu Elizabeth II untuk juga menjabat  sampai ajal menjemputnya sebagaimana yang dikatakan Ratu Elizabeth II saat pertama kali naik tahta. Ratu berhasil melaksanakan tugas sebagai ibu bagi negara Britania Raya dan bagi anak-anaknya.
Salah Satu Figur Kisah Cinta yang Ideal
Di dunia ini tidak semua orang beruntung dalam kehidupan kisah cintanya, bahkan untuk keluarga bangsawan sekalipun. Misalnya King Edward VIII yang rela turun tahta demi cintanya pada Wallis Simpson yang sudah  dua kali menikah dan belum bercerai dengan suami sebelumnya saat menjalin kasih dengan Sang Raja.
Kisah cinta tragis lain adalah Lady Diana yang harus bercerai dengan pangeran Charless saat itu dan meninggal dalam kecelakaan mobil bersama kekasihnya Dodi Alfayed Pengusaha berkewarganegaraan Mesir.
Kisah cinta dan rumah tangga yang tidak berjalan lancar tidak sekalipun pernah terdengar antara ratu dengan pangeran Philip. Mereka saling setia satu sama lain dari awal menikah hingga ajal memisahkan keduanya. Hal ini tampak dari kedukaan yang sangat mendalam yang dialami Ratu saat suaminya meninggal pada tahun 2021 lalu.
Selain karena faktor keberuntungan yaitu bertemu dengan pasangan yang tepat, factor kedewasaan kedua belah pihak juga sangat penting. Beberapa kasus wanita yang memiliki kedudukan lebih tinggi baik penghasilan maupun jabatan daripada suaminya merasa berhak semena-mena. Beberapa kasus yang lain berkebalikan, dimana ego lelaki yang tidak terima bila kedudukannya dibawah istrinya.Â
Namun tidak berlaku bagi ratu dan suaminya, keduanya bisa saling bekerjasama baik urusan rumah tangga maupun kenegaraan.Â
Berpola Hidup Sederhana dan berusia panjang
Berbeda dengan raja lain yang hobi koleksi kemewahan harta benda bahkan istri. Kehidupan ratu Elizabeth II tidak berlebihan dalam menunjukkan kemewahan. Selain membayar pajak atas gaji yang diterimanya, kenyataannya banyak rakyatnya yang secara materi lebih kaya dari dirinya. Misalnya saja J.K Rowling yang merupakan penulis buku Best Seller dunia Harry Potter yang kekayaannya jauh lebih banyak dari sang Ratu.
Padahal kalau dipikir-pikir Britania Raya memiliki negara persemakmuran sebanyak 56 negara, tidak termasuk asset-aset yang mungkin masih dimiliki di Amerika Serikat sebelum mendeklarasikan diri merdeka sekitar 246 tahun yang lalu. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kehidupan beberapa koruptor beberapa negara di dunia bergaya hidup foya-foya ditengah hidup rakyatnya yang menderita.
Pola hidup sederhana ini bisa jadi salah satu factor kenapa ratu berusia panjang, bahkan hampir menjadi centenarian atau manusia berumur 100 tahun. Selain itu, jika mengadaptasi prinsip para centenarian di Okinawa Jepang, kebanyakan mereka masih aktif bekerja meskipun di usia renta alias produktif. Sebagaimana ratu yang selalu aktif melakukan kegiatan kenegaraan bahkan tidak bersedia dituntun saat berjalan.
Sistem Monarki Masih Relevan di zaman Modern?
Kerajaan Inggris tentu tidak selalu adem ayem, ada kalanya diterpa dengan usaha penggulingan kekuasaan yang menghendaki terbentuknya negara Republik. Alasan mereka diantaranya  karena Republik dianggap lebih sesuai dengan zaman yang sudah modern.Di sisi lain system kerajaan mengharuskan negara mengeluarkan anggaran 1.7 triliun rupiah pertahun untuk keluarga kerajaan.
Namun begitu, berkat kharisma dari keluarga kerajaan isu ini selalu bisa ditepis. Karena sepanjang sejarah Inggris dibawah kekuasaan monarki institusional, rakyatnya hidup makmur. Berbeda dengan Perancis yang rajanya terpaksa dilengserkan karena korupsi dan hidup bermewah-mewahan ditengah rakyatnya yang kelaparan pada zamannya. Revolusi Perancis ini ditandai dengan penyerbuan Benteng Bastille.
Di bumi ini selain Inggris, setidaknya ada 28 negara yang mempraktikan system monarki baik itu konstitusional seperti Inggris, absolut, maupun terpilih. Meskipun ada juga yang negaranya mengaku republic atau demokrasi tapi menjalankan system monarki seperti Korea Utara yang pemimpinnya sudah tiga generasi dengan masa kepemimpinan seumur hidup.
Sistem yang mirip dengan Korea Utara adalah Irak dan Libya, Indonesia saat orde lama dan orde baru, Tiongkok dan Rusia sekarang. Perbedaan dari Korea Utara adalah, kekuasaan Kim Joun Un dibangun diatas ketakutan sehingga belum ada yang berani menggulingkannya. Sedangkan Irak dan Libya adalah karena ketidakpuasan, meskipun ketika system diganti rakyatnya jadi lebih menderita karena penggantinya pemimpin-pemimpin lemah.
Sedangkan orde lama dan orde baru di Indonesia, kasus penggulingannya hampir mirip karena inflasi, kemiskinan merajalela dan di pelopori oleh kaum terpelajar yaitu mahasiswa. Meskipun penggulingan-penggulingan tersebut termasuk di Timur Tengah tidak lepas dari isu campur tangan asing kepada negara-negara ini.
Hal ini berbeda dengan Tiongkok dan Rusia, pemimpin yang terpilih saat ini merupakan hasil dari demokrasi namun dipertahankan kepemimpinannya melebihi periode karena kinerja yang dianggap excellent. Bukan hal mustahil bahwa Xie Jin Ping dan Vladimir Putin akan menjabat sebagai Presiden seumur hidup di negara mereka karena kehandalan dalam mengelola negara atau Monarki tipis-tipis.Â
Apakah Indonesia cocok dengan system monarki? Kalau iya, monarki apa yang cocok? Lalu seperti apa pemimpin ideal untuk monarki di Indonesia sebagai pengobat negara demokrasi yang penuh drama korupsi ini?
Demikianlah beberapa 5 pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan hidup Ratu Elizabeth II yang mungkin bisa kita teladani. Ambil positifnya yang mungkin cocok dengan diri dan kehidupan kita. Namun tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi seperti ratu jika bukan kapasitasnya. Â Karena setiap manusia sudah ditakdirkan dengan karakter dan jalan hidupnya masing-masing.
Â
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H