Dengan adanya sosial media dan platform mengumpulkan petisi digital, masyarakat dapet menegur sekaligus mejadi pemengaruh terhadap kebijakan media massa.Â
Hal inilah menjadi sisi positif kontrol publik terhadap kebijakan media dimana salah satunya masyarakat langsung menjadi pengawas kelalaian media massa.
Kedua, Sensor media yang lemah
Tentu saja jika dalam keadaan normal, cancel culture tidak mungkin terjadi jika yang disiarkan dan disebarluaskan adalah hal yang baik-baik saja. Masalahnya, sering kali media hanya menitikberatkan pada rating alias paham kapitalisme yang mana asal penonton banyak dan iklan ramai.Â
Sehingga sering kali mengabaikan etika jurnalisme salah satunya adalah menjunjung nilai moral hal inilah yang terjadi pada Saiful Jamil dan sejenisnya.
Ketiga, Budaya julid netizen
Budaya julid netizen Indonesia nyatanya ini bukan isapan jempol belaka. Berdasarkan riset Microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, termasuk negara Indonesia.Â
Dalam laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) itu, mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut. (Indonesiabaik, 2021)
Julid atau sinis termasuk hate speech (ujaran kebencian) ini kadang beralasan, namun tidak jarang berdasarkan alasan yang tidak logis. Misalnya yang terjadi pada Putri Anne, istri Arya Saloka, tidak sedikit netizen yang menghina kadang hanya pada masalah pakaian semata.Â
Hal ini disebabkan netizen terlalu baper terhadap sinetron Ikatan Cinta sehingga berharapnya hubungan cinta Andin-Al yang diperankan Arya Saloka dan Amanda Manopo juga terjadi dunia nyata.
Kejulidan lain juga ditujukan pada artis-artis yang awet muda seperti Tara Bleszinski, Yuni Sara dan sebagainya untuk tidak neko-neko dan menasihati ingat umur. Serta masih banyak lagi bentuk-bentuk kejulidan lain kepada subyek seleb-seleb tertentu.