Akhir-akhir ini, gerakan boikot/cancel culturemelalui petisi online makin ramai. Â Tindakan cancel culture ini dilakukan kebanyakan oleh netizen terhadap tokoh publik / public figure yang umumnya adalah artis. Para netizen ini rata melakukan boikot agar artis tersebut tidak muncul di layar televisi.Â
Gerakan boikot yang sekarang sedang ramai adalah terhadap Saiful Jamil dengan alasan tidak pantas seorang mantan napi kejahatan seksual kembali menghibur dihadapan masyarakat.Â
Selain itu, ada Ayu Ting-Ting yang diboikot atas alasan melakukan perbuatan tidak sopan karena menendang salah seorang talent. Lalu terdapat Mulan Jamila-Ahmad Dani, Nikita Mirzani, Billy Syahputra dengan alasan tidak pantas untuk konsumsi khalayak Indonesia.
Berdasarkan fenomena tersebut, sebenarnya apa yang melatarbelakangi cancel culture dan apa korelasinya dengan media culture? Apa akibat ektrim dari cancel culture ini?
Cancel Culture di Tanah Air
Membaca PenyebabCancel culture memiliki makna lain budaya pengenyahan, dimana subyek tidak hanya dikucilkan tapi dikeluarkan dari lingkungan sosial tertentu. Cancel culture yang selama ini booming melalui petisi adalah pengenyahan selebritis dari televisi. Sedangkan cancel culture melalui media sosial adalah pemblokiran/melaporkan beramai kepada pihak pusat pendiri media sosial.
Menurut pengamatan penulis, Cancel culture disebabkan oleh 3 hal:
Pertama, Konvergensi media
Kovergensi media dapat dipahami sebagai fenomena penggabungan media massa dan digital. Penggabungan media ini sangat memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara komunikator dan komunikan.Â
Sangat berbeda dengan kondisi pada tahun 90-an hingga 2000-an dimanatelevisi merajai dalam mengarahkan tontonan kepada audiens. Karena televisi masih jadi primadona sedang internet masih minim sehingga juga meminimalkan feedback.
Tahun 2020-an hampir tidak mungkin televisi berperilaku sama, karena medium-medium komunikan untuk menyampaikan feedbacknya tidak sebatas mengirim surel kepada redaksi.Â
Dengan adanya sosial media dan platform mengumpulkan petisi digital, masyarakat dapet menegur sekaligus mejadi pemengaruh terhadap kebijakan media massa.Â
Hal inilah menjadi sisi positif kontrol publik terhadap kebijakan media dimana salah satunya masyarakat langsung menjadi pengawas kelalaian media massa.
Kedua, Sensor media yang lemah
Tentu saja jika dalam keadaan normal, cancel culture tidak mungkin terjadi jika yang disiarkan dan disebarluaskan adalah hal yang baik-baik saja. Masalahnya, sering kali media hanya menitikberatkan pada rating alias paham kapitalisme yang mana asal penonton banyak dan iklan ramai.Â
Sehingga sering kali mengabaikan etika jurnalisme salah satunya adalah menjunjung nilai moral hal inilah yang terjadi pada Saiful Jamil dan sejenisnya.
Ketiga, Budaya julid netizen
Budaya julid netizen Indonesia nyatanya ini bukan isapan jempol belaka. Berdasarkan riset Microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, termasuk negara Indonesia.Â
Dalam laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) itu, mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut. (Indonesiabaik, 2021)
Julid atau sinis termasuk hate speech (ujaran kebencian) ini kadang beralasan, namun tidak jarang berdasarkan alasan yang tidak logis. Misalnya yang terjadi pada Putri Anne, istri Arya Saloka, tidak sedikit netizen yang menghina kadang hanya pada masalah pakaian semata.Â
Hal ini disebabkan netizen terlalu baper terhadap sinetron Ikatan Cinta sehingga berharapnya hubungan cinta Andin-Al yang diperankan Arya Saloka dan Amanda Manopo juga terjadi dunia nyata.
Kejulidan lain juga ditujukan pada artis-artis yang awet muda seperti Tara Bleszinski, Yuni Sara dan sebagainya untuk tidak neko-neko dan menasihati ingat umur. Serta masih banyak lagi bentuk-bentuk kejulidan lain kepada subyek seleb-seleb tertentu.
Cancel Culture Berlebihan Bisa Berujung Toxic
Cancel culture bisa bermakna positif selama konteksnya tepat. Konteks dalam hal ini adalah bila subyek yang di-cancel dikhawatirkan memberi contoh yang buruk, kerugian, kericuhan, dan sebagainya, yang bisa merusak tatanan masyarakat madani.Â
Namun disisi lain, jika cancel culture terus menjamur tanpa sebab atau beralasan yang kuat dapat dimaknai terjadi keadaan sosial yang sedang tidak baik.
Keadaan sosial yang salah bilama mana keduanya yaitu media dan masyarakat sama-sama memiliki mental dan moral yang rendah. Cancel culture dalam tingkat ekstrim menimbulkan pembunuhan karakter bahkan perundungan yang mengganggu ekonomi dan psikologis subyek.Â
Sehingga secara tidak langsung mendorong subjek kepada pemiskinan atau gangguan psikis yang dapat mendorong pada percobaan bunuh diri.Â
Nah, cancel culture nyatanya seperti pisau bermata dua. Satu sisi ada nilai positif, sedang sisi lain dapat berakibat negatif. Maka dari itu, masyarakat Indonesia harus lebih berhati-hati ketika menjadi bagian dari cancel culture ini.Â
Karena jika salah bisa berakibat fitnah, namun jikalaupun yang dilakukan benar menandakan ada degradasi nilai-nilai etika pada media massa yang abai pada etika jurnalisme dan kesopanan.Â
Wallahualam Bisshowab
 Â
Referensi : Â Â Â Â Â Â Â Â
https://indonesiabaik.id/infografis/benarkah-netizen-indonesia-paling-tak-sopan-se-asia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H