Mohon tunggu...
Novriyanti Nov
Novriyanti Nov Mohon Tunggu... Dosen - Kadang ngajar, kadang masak, kadang momong

Menulis tanpa tekanan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Masihkah Ada Sibling Rivalry pada Anak Berkebutuhan Khusus?

10 April 2021   23:10 Diperbarui: 14 April 2021   09:22 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat semua mungkin ada yang pernah mengalami ini, kan? 

"Bu, adek ini lho maunya ambil punya kakak terus. Adek ini iri sama kakak."

"Bu, kakak juga mau seperti punya adek, kenapa kakak tidak dikasih. Ibu beri itu ke adek terus."

"Bu, kenapa odol punya adek beda dengan punya kakak? Itu lebih bagus ya?"

dan masih banyak lagi.

Lalu kita, kemungkinan akan menjawab atau menjelaskan seperti ini:

"Kakak, berikan itu pada adekmu. Kasihan adek. Kakak mengalah dong. Adek kan masih kecil."

"Kakak kan bisa makan banyak jenis makanan, sementara adek tidak. Bayangkan, saat kakak makan coklat, adek tidak boleh lihat atau adek tidak boleh tahu karena adek tidak boleh memakannya. Jadi, kakak jangan iri sama apa yang adek dapatkan."

"Kakak, punya adek kan tidak boleh ada kandungan ini bla bla bla......Nah, kakak kan tidak, jadi tidak masalah ya?"

atau banyak lagi kemungkinan lain.

Cuplikan dialog itu nyata sebagai bentuk Sibling Rivalry di lingkungan kita. Lebih tepatnya sibling rivalry pada anak berkebutuhan khusus (ABK), yang dalam contoh ini adalah Adek . 

Adek sedang mengalami Behavior dan Sensory Disorder. Sebenarnya ada banyak jenis penyakit yang muncul dalam masa tumbuh kembang anak, seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), Central auditory processing disorder (CAPD), Cerebral palsy, Autism spectrum disorder (ASD), dan sebagainya. 

Kami sebagai orang tua sangat terlambat memahami bahwa salah seorang anak kami mengalami salah satu dari penyakit tersebut. Mengapa demikian? Apakah kami tidak memperhatikan anak? Tidak. Sebenarnya kami lalai dan terlalu percaya pada ungkapan lingkungan sekitar

Ah, itu biasa pada anak. Memang anak-anak banyak juga yang lambat bicara

atau 

Nanti juga bicara, si A dulu juga lama

Dan masih banyak lagi tanggapan yang sebenarnya membuat orang tua lambat menyadari bahwa telah terjadi sesuatu pada anaknya.

Lalu bagaimana dengan anak lainnya? Apakah mereka bisa memahami bahwa saudaranya tengah mengalami dan menjalani sesuatu yang berbeda dengannya? 

Ungkapan anak pada contoh pertama menunjukkan bahwa ia tidak mengetahui hal tersebut sehingga jawaban yang diberikan seharusnya bukanlah anak disuruh mengalah (inipun tidak lazim dan kurang tepat apabila diterapkan pada anak yang sama-sama normal/sehat). Jawaban atau penjelasan kita seharusnya lebih objektif.

Setelah Adek diketahui mengalami disorder, apa yang telah dicontohkan di atas terutama jawaban atau penjelasan kita pada anak lainnya setidaknya mengandung dua hal yaitu, mengedukasi dan mengasihani. Saya tidak akan bahas yang pertama, fokus saya pada yang kedua yaitu mengasihani.

Perlukah mengasihani? Atau perlukah kita menjelaskan agar saudara yang lain paham dengan nada mengasihani? Tentu tidak.   

Lalu apakah boleh? 

Saya tidak akan bahas boleh atau tidak bolehnya. Saya akan mengajak kita semua merenungi seberapa pantas hal ini terjadi dan bagaimana mengatasinya berdasarkan perspektif kita masing-masing dengan cara yang baik.

Lalu bagaimana?

Mari menelaah bersama, menjadikan ini sebuah diskusi. Boleh bawa dan pakai perspektif kita masing-masing terhadap apa yang telah saya ceritakan itu.

Sebagaimana yang disajikan pada judul tulisan ini, mungkin itulah kalimat tanya yang tidak akan pernah terbersit di benak kita sebagai orang awam, apalagi yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus. Mengapa demikian? 

Karena dalam perspektif kita, anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak seharusnya masuk dalam "perhitungan" kompetisi dan kompetensi. 

Anak berkebutuhan khusus telah kita letakkan dalam frame yang berbeda dari anak normal sehingga seringkali sikap dan perasaan kita mengarah pada sebuah bentuk rasa iba, kasihan, dan pemakluman sehingga jelas kita akan mendeliniasi "kompetisi" dalam hal ini. 

Saya cenderung menyukai kata kedua yaitu kompetensi.

Kompetensi dipilih karena yang membedakan ABK dengan anak pada umumnya ialah kemampuannya bersosialisasi atau mengenali lingkungan.

Sederhananya Si Anak memberi atensi pada apa yang terjadi di sekitarnya. Namun yang terjadi pada anak ABK sangat minim bahkan bisa tidak ada atensi. 

Nah inilah yang harus ditanamkan pada anak lainnya, dimana mereka harus berkoordinasi dan bekerja sama agar anak ABK memiliki kompetensi yang menyerupai mereka tanpa disorder. 

Dengan demikian, sibling rivalry tidak muncul dan anak ABK dapat hidup dengan damai bersama lingkungan sekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun