Ungkapan anak pada contoh pertama menunjukkan bahwa ia tidak mengetahui hal tersebut sehingga jawaban yang diberikan seharusnya bukanlah anak disuruh mengalah (inipun tidak lazim dan kurang tepat apabila diterapkan pada anak yang sama-sama normal/sehat). Jawaban atau penjelasan kita seharusnya lebih objektif.
Setelah Adek diketahui mengalami disorder, apa yang telah dicontohkan di atas terutama jawaban atau penjelasan kita pada anak lainnya setidaknya mengandung dua hal yaitu, mengedukasi dan mengasihani. Saya tidak akan bahas yang pertama, fokus saya pada yang kedua yaitu mengasihani.
Perlukah mengasihani? Atau perlukah kita menjelaskan agar saudara yang lain paham dengan nada mengasihani? Tentu tidak. Â Â
Lalu apakah boleh?Â
Saya tidak akan bahas boleh atau tidak bolehnya. Saya akan mengajak kita semua merenungi seberapa pantas hal ini terjadi dan bagaimana mengatasinya berdasarkan perspektif kita masing-masing dengan cara yang baik.
Lalu bagaimana?
Mari menelaah bersama, menjadikan ini sebuah diskusi. Boleh bawa dan pakai perspektif kita masing-masing terhadap apa yang telah saya ceritakan itu.
Sebagaimana yang disajikan pada judul tulisan ini, mungkin itulah kalimat tanya yang tidak akan pernah terbersit di benak kita sebagai orang awam, apalagi yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus. Mengapa demikian?Â
Karena dalam perspektif kita, anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak seharusnya masuk dalam "perhitungan" kompetisi dan kompetensi.Â
Anak berkebutuhan khusus telah kita letakkan dalam frame yang berbeda dari anak normal sehingga seringkali sikap dan perasaan kita mengarah pada sebuah bentuk rasa iba, kasihan, dan pemakluman sehingga jelas kita akan mendeliniasi "kompetisi" dalam hal ini.Â
Saya cenderung menyukai kata kedua yaitu kompetensi.