Periode sejarah ini mewakili Indonesia modern yang korup. Pepatah "ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan" (ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan) menunjukkan kebenaran yang kuat tentang kondisi saat ini, di mana banyak orang merasa terpaksa melakukan kegiatan korup untuk bertahan hidup atau berkembang. Sebagai contoh yakni pada skandal perdagangan teh VOC, dimana Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) memonopoli perdagangan teh di Jawa. Pada abad ke-18, terungkap bahwa para pejabat VOC terlibat dalam penyuapan dan praktik korupsi lainnya untuk menaikkan harga teh. Skandal ini menimbulkan kemarahan publik dan seruan untuk melakukan reformasi.
Kalabendhu: Era Kegelapan dan Kehancuran
Zaman Kalabendhu adalah zaman yang penuh dengan kesuraman dan kehancuran, ketika kebusukan moral mencapai puncaknya dan sistem sosial runtuh. Serat Kalabendhu karya Ranggawarsita melukiskan gambaran suram tentang sebuah dunia di mana:
Dalajading praja kawuryan wus suwung,
(Negara telah menjadi kosong)
Lbur pangrh tata, karana tanpa palupi,
(Tata kelola pemerintahan hancur, karena kurangnya panutan)
Pan wus tilar silastuti titi tata
(Norma-norma kebaikan dan kehati-hatian telah ditinggalkan)
Gambaran ini sangat mencerminkan keadaan sistem politik dan administrasi Indonesia yang rusak. Masalah ini diperparah dengan kurangnya panutan moral dalam posisi-posisi otoritas, yang merusak kepercayaan publik dan tata kelola pemerintahan. Sebagai contoh persoalan skandal tanah gula. Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem kerja paksa untuk mengolah perkebunan gula. Sistem ini sarat dengan korupsi, karena para pejabat menerima suap dari para pekebun untuk mengizinkan mereka mengeksploitasi para pekerjanya. Skandal ini menyebabkan kemiskinan dan penderitaan yang meluas di kalangan petani Jawa (Akbar, 2022).
Fenomena Korupsi di Indonesia