Mohon tunggu...
Rezha Rizqy
Rezha Rizqy Mohon Tunggu... Guru - Guru Biologi

Perempuan introvert yang kadang mengalami distraksi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Miskonsepsi Anak

3 Mei 2014   18:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 4465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah punya kesempatan mengajar anak Sekolah Dasar di tempat les-lesan (LBB Primagama). Anak-anak SD yang memang satu kelas itu (berisi 7 orang), memang semuanya berasal dari satu sekolah yang sama. Ternyata si pengurus Primgama emang sengaja menjadikan satu mereka, karena sekolah mereka yang spesial. Mereka bersekolah di salah satu Sekolah Internasional ternama di Surabaya. Berdasarkan cerita dari mulut mereka, saya jadi sedikit tahu perbedaan pola belajar mengajar di sekolah tersebut dan sekolah nasional pada umumnya.

Pertama, mereka menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Dalam hitungan anak usia SD mereka cukup mahir. Saya aja sampai harus mendengarkan dengan seksama dan berkonsentrasi penuh untuk bisa menangkap apa yang mereka perbincangkan. Tak jarang pula mereka bercanda dengan kawannya menggunakan bahasa Inggris. Kadang saat saya tak bisa menangkap maksudnya, jadi berburuk sangaka.

"Wah, jangan-jangan mereka ngrasani saya?"

Suatu kali pula saya memberikan permainan tebak-tebakan kepada mereka. Hal ini saya lakukan saat mereka mulai jenuh belajar. Tentu saja saya yang orang jawa tulen memberikan tebakan dari bahasa jawa, atau Indonesia. Seperti tebak-tebakkan, "Ada capung bertabrakan dengan pesawat terbang, siapa yang salah?" Dan tebakan-tebakan yang lain yang sekiranya bisa mereka bisa menjawab. Tapi, di saat saya terdiam agak lama untuk  memikirkan tebakan apa berikutnya yang akan saya berikan, salah seorang murid nyeletuk.

"Mbak gantian aku yang ngasih tebakan!"

"Silahkan!" jawabku singkat.

"Waidekit binge ladeto sol?"

Busyet dia ngomong pake Bahasa Inggris.

"Coba diulangi dek!" Ujarku. Dan setelah diulangi ketiga kalinya barulah saya bisa mendengar apa yang diucapkannya.

"Why the kids bring a ladder to the school?"

"Oooooh, aku tahu!" Jawabku yang kumaksudkan untuk penangkapanku pada maksud pertanyaanya.

"Jadi, Mbak udah tahu jawabnya?" tanyanya.

"Belum, dek!"

Singkat cerita berhubung satu kelas nggak ada yang bsia jawab, akhirnya dia yang ngasih jawabannya.

"Because, he want to go to the high school."

"Ooh." Kali ini aku mengucap 'oh' dengan lebih pendek, khawatir mereka mengira aku paham maksudnya. Padahal aku cuma paham artinya.

Contoh lain, di Sekolah mereka tidak ada yang namanya ulangan harian, ujian tengah semester, bahkan ujian kenaikan kelas.

Hal ini saya ketahui ketika saya bertanya kepada mereka.

"Dek, kalau kalian ujian soalnya pake Bahasa Inggris apa Bahasa Indonesia?"

"Nggak ada, Mbak!"

"Hah, nggak ada?"

"Iya, Mbak, nggak ada!"

"Maksudnya pake Bahasa Indonesia?"

"Nggak ada, Mbak!"

"Maksudnya soalnya nggak pake bahasa?" Aku bingung dengan jawaban mereka. Sedetik kemudian aku baru sadar pada pertanyaan konyolku barusan. Mana mungkin soal nggak pake bahasa. Maksud hati mau bilang,

"Maksudnya soalnya lisan, Dek?"

"Nggak ada ujian, Mbak."

"Iya, Mbak, kita nggak pernah ujian." yang lain menambahakan.

"Jadi, kalian nggak pernah ulangan harian, atau UTS?" tanyaku.

"Nggaaaak, Mbak!" Jawab mereka serempak.

"Kita banyak ngerjain proyek, Mbak! Tapi proyeknya susah-sudah!"

"Oooooh,..."

"Bagus berarti, Dek!" Jawabku sedetik kemudian, entah didasari pemikiran apa.

Tapi yang bikin saya tambah miris, yaitu pada saat saya menjelaskan Perkembangbiakan Tumbuhan.

"Salah satu contoh perkembangbiakan vegetatif alami adalah bertunas, contohnya pada pohon pisang."

"Pohon apa, Mbak?"

"Pohon Pisang, yang sering kalian temui di pekarangan atau kebun."

Kukira mereka paham begitu aku menyebutkan pohon pisang.

"Kayak gimana pohonnya, Mbak?"

"Aku nggak pernah tahu Pohon Pisang itu kayak apa, Mbak!"

Saya benar-benar terkejut saat itu. Tak menyangka ada anak jaman sekarang, kelas 6 SD nggak tahu pohon pisang. Helooo dek, pohon pisang belum punah.

"Aku cuma tahu buahnya aja, Mbak!"

Ya Allah...

Untungnya saat itu saya bisa menggambarkan pohon pisang berikut tunasnya. Hmm, mungkin karena lingkungan mereka, keluarga, sekolah tak pernah menanam pohon pisang, atau sekadar memberi tahu inilah pohon pisang.

"Ya, sudah dek, nanti sampai rumah browsing ya, cari gambar pohon pisang." Ujarku.

"Wah, gampang Mbak kalau Browsing saya bisa daripada harus jalan-jalan ke tanah-tanah lapang cari pohon pisang."

Dalam hati saya membatin, sebenarnya internet ini banyak membantu, tapi dalam beberapa hal juga ada efek buruknya.

"Sudah paham, dek, maksudnya?"

"Iya, Mbak!"

"Kalau begitu tolong beri contoh lain tanaman yang bertunas selain pisang!" Dalam hati saya menebak anak-anak akan memberi jawaban bambu. Tapi lagi-lagi saya salah.

"Kelapa, Mbak!" Jawab mereka.

"Hah! Kok kelapa?"

"Iya, Mbak, kan ada istilah Tunas Kelapa, lambangnya Pramuka."

Saat itu saya cuma garuk-garuk kepala yang sama sekali nggak gatal. Bingung memikirkan jawaban apa yang akan saya berikan kepada mereka.

Kelapa itu sama sekali tidak bertunas. Kelapa tidak berkembang biak dengan tunas. Kelapa berkembang biak dengan bijinya.

Wah, wah, ternyata istilah Tunas Kelapa bisa mengacaukan konsep anak.

Saya jadi teringat ungkapan Prof. Muslimin Ibrahim, Dosen Biologi Unesa yang intinya seperti ini.

"Ungkapan Tunas Kelapa itu salah. Semua tumbuhan yang tumbuh dari biji namanya adalah kecambah. Sedangkan yang tumbuh dari pangkal batang baru itu namanya Tunas. Jadi seharusnya, kalau masih pake lambang kelapa, Pramuka pake istilah kecambah kelapa."

Saya masih bingung, mana mungkin anak SD saya jelaskan dengan kalimat ini. Kemudian saya mendapat ide untuk menjelaskannya seperti ini.

"Istilah Tunas Kelapa hanya ada pada simbol Pramuka. Kenyataannya, kelapa tidak berkembang biak dengan tunas. Contoh tumbuhan yang berkembang biak dengan tunas adalah pisang dan bambu."

Tak hanya Tunas Kelapa. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering sekali tanpa sadar memberikan konsep yang salah kepada anak. Bukan hanya guru saja, orang tuapun sering memberikan konsep yang salah hanya agar anak mengikuti perintahnya. Seperti menanamkan konsep bahwa bermain di sawah, ladang dan sungai belakang rumah di siang hari akan mengundang wewe gombel. Padahal maksud si orang tua hanya agar anak segera pulang dari bermain dan tidur siang. Tanpa mereka sadari, anak akan tumbuh dengan bayang-bayang wewe gombel yang akan muncul di sungai saat matahari tepat di atas kepala (biasanya ditrandai dengan suara qiro'). Hal tersebut hanya sekelumit contoh. Semoga kita semua, yang punya anak-anak kecil, yang punya adik-adik kecil, yang punya murid SD, sebisa mungkin menjauhkan diri dari penuturan yang memicu pemahaman salah anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun