Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Catatan Rosihan Anwar Seputar Peristiwa 1 Oktober 1965

15 Maret 2023   12:00 Diperbarui: 15 Maret 2023   12:01 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku H. Rosihan Anwar, Sukarno, Tentara, PKI; Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (sumber: dokumentasi pribadi)

H. Rosihan Anwar, adalah seorang jurnalis senior dan salah satu saksi kunci dalam peristiwa berdarah pada tangga 1 Oktober 1965. Sebagai seorang jurnalis, berbagai catatannya pada tahun vivere pericoloso pun dirangkumnya pada sebuah buku berjudul "Sukarno, Tentara, PKI; Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965".

Kiranya catatan ini dapat menjadi bukti otentik yang dapat dipersandingkan dengan berbagai sumber lainnya. Khususnya ketika kita hendak mengulas peristiwa September 1965 yang penuh dengan kontroversi. Walaupun banyak perdebatan dalam perspektif ideologis, namun hal itu lumrah terjadi dalam sudut pandangnya masing-masing.

Awalnya adalah berbagai pertentangan politik yang terjadi sejak tahun 1961. Telah ada upaya signifikan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui D.N. Aidit yang menuntut adanya perubahan dan struktur personalia kabinet. Tuntutan yang menyinggung soal bebas politik dan demokrasi, menjadi cara utamanya mengubah suasana politik kala itu.

Menghadapi gelagat mencurigakan dari PKI, kalangan tentara dari Jawa Timur memutuskan bahwa PKI dianggap sebagai partai terlarang. Lantaran setahun sebelumnya, mereka melakukan perayaan Pemberontakan Madiun. Di masa ini, tentu ada sikap mawas dari kalangan TNI untuk mengantisipasi manuver politik PKI.

Belum lagi respon terhadap peristiwa Djengkol yang meletus di Jawa Timur pada 15 November 1961. Aksi sepihak merebut tanah Negara oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Gerwani, telah memakan 6 korban jiwa.  Hal ini tentu menjadi alasan utama mengapa TNI tetap bersikap waspada terhadap PKI.

Strategi PKI lainnya adalah menerima Pancasila sebagai ideologi partainya. Walau sila pertama tidak dianggap sebagai kewajiban yang semestinya. Hal ini tercatat pada tanggal 21 April 1961, dengan tajuk "manuver PKI melawan TNI". Maka. sudah dapat dipastikan, bahwa PKI telah berada dalam posisi saling berhadapan dengan TNI.

Pada tahun 1962, PKI melancarkan serangan-serangan politiknya terhadap kelompok nasionalis. Lantaran peristiwa PRRI/Permesta dianggap sebagai bentuk kudeta yang nyata terhadap Negara. Lha, pada tahun 1948, PKI apa tidak dianggap sebagai kudeta? Bahkan mulai menekan TNI dalam konflik di Irian Barat dengan Belanda.

Bahkan PKI berani mengkaitkan Sutan Syahrir adalah dalang dibalik berbagai upaya subversif terhadap Pemerintah. Nah, pada tahun inilah beliau (Syahrir) akhirnya ditangkap dengan status tahanan politik. Berikut dengan Moh. Roem (tokoh yang berjasa dalam perjanjian Roem-Royen), juga ditangkap. Mereka ini memang tokoh yang menentang PKI kala itu.

Bung Hatta pun tidak luput dari aksi intimidasi yang dilakukan oleh PKI. Pada 12 April 1962, Rosihan Anwar mengkisahkan; "Sejak tiba dari lawatannya di luar negeri, Bung Hatta disambut demonstran komunis di Kemayoran. Bahkan sampai di rumahnya pun aksi menyerang Bung Hatta mereka lakukan".

Sejak penetapan Ahmad Yani sebagai KASAD pada 23 Juni 192, PKI secara intensif memulai infiltrasinya terhadap kesatuan tentara. Mereka melakukan rekruitmen terhadap tentara-tentara yang dapat menerima ideologi mereka, dengan pembinaan selanjutnya. Dimana pada 19 November 1962, PKI dikabarkan melakukan pengacauan di Surabaya.

Puncaknya adalah pada tahun 1963, konflik yang terjadi antara PKI dengan tentara sudah mulai menjadi perbincangan publik. Hal ini terpantik saat PKI menuntut pembentukan Kabinet Nasakom kepada Presiden Soekarno. Banyak demonstrasi yang dilakukan oleh PKI bersama underbownya, baik menuntut kebijakan ekonomi ataupun politik.

Apalagi pada tahun ini (1963) kebijakan konfrontasi dengan Malaysia sudah mulai mengemuka. Bahkan persiapan-persiapan untuk mendukung kampanye anti-Malaysia telah intensif dilakukan oleh PKI melalui pelatihan terhadap para milisi simpatisannya. Dengan alasan membantu tentara untuk menghadapi perang gerilya di Sumatera dan Kalimantan.

Sedangkan, kelompok budayawan yang anti-komunis, pada bulan September 1963 mulai gencar melakukan aksi perlawanan terhadap Lekra. Kelompok ini dikenal dengan Manifestasi Kebudayaan, diantara tokohnya ada H.B. Jassin dan Gunawan Mohamad. Sedangkan Lekra adalah lembaga budaya yang berada di bawah naungan PKI, diantaranya adalah Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin.

Pada tahun ini, seperti kita ketahui, Presiden Soekarno telah diangkat sebagai Pejabat Presiden Seumur Hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Rosihan Anwar menilai, bahwa ketakutan kelompok nasionalis atas kebangkitan komunis, justru membuat Negara masuk dalam konsep otoritarianisme.

Memasuki tahun 1964, suasana politik dapat dibilang sangat panas. Puncak kepanasannya adalah ketika ada usulan Angkatan Kelima telah menjadi tajuk utama pada masyarakat. Dalihnya adalah kebijakan konfrontasi dengan Malaysia, dimana Negara membutuhkan relawan untuk bertempur. PKI pun mulai melakukan propagandanya secara terbuka mengenai usulan ini.

Justru kabar tidak sedap terdengar oleh Rosihan Anwar, pada bulan Maret 1964 dikisahkan bahwa "Aidit bisa atur tentara di Jawa Tengah". Hal ini sontak membuatnya berpikir skeptis terhadap akan adanya suatu aksi yang melibatkan tentara yang telah disusupi PKI di kemudian hari.

Di kalangan mahasiswa, organisasi CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang pro PKI sudah sampai pada tahap reaksioner dengan organisasi mahasiswa lainnya. CGMI secara terbuka menyerang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang menjadi kekuatan utama mahasiswa anti komunis. Bahkan diberitakan, aksi saling serang antar mahasiswa kerap terjadi di berbagai daerah.

Mahasiswa anti komunis pun mempersiapkan alternatif organisasi jikalau HMI dibubarkan. Maka, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pun didirikan sebagai wadahnya pada tanggal 14 Maret 1964. Area geraknya pun jauh lebih luas, bukan sekedar organisasi dakwah. Melainkan dalam bidang sosial dan budaya. Kiranya dapat menjadi counter bagi gerakan komunis ditengah rakyat.

Puncaknya tentu saja di tahun 1965. D.N. Aidit meminta Presiden untuk mengesahkan Angkatan Kelima demi Dwikora. Konfrontasi dengan Malaysia yang menjadi dalih, akhirnya ditentang keras oleh TNI. Tentara tidak menghendaki adanya kekuatan baru yang dapat menjadi ancaman di kemudian hari. 

Aksi protes reaksioner yang dilakukan oleh PKI beserta underbownya dikatakan telah membuat suasana di tahun ini kacau. Huru-hara terjadi dimana-mana. Aksi kekerasan yang diwarnai pertumpahan darah juga tak terelakkan, seperti yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semua memiliki latar belakang konflik ideologi, khususnya antara kelompok agama dengan komunis.

Hingga malam 1 Oktober 1965 tiba, suasana hening kediaman Rosihan Anwar yang terletak tak jauh dari kediaman Jenderal A.H. Nasution tiba-tiba pecah. Riuh rentetan tembakan membuat dirinya beranjak dan mengintip melalui jendela rumah. "Maling barangkali", ujarnya menenangkan. Tetapi ada yang aneh, banyak truk terlihat terlihat berseliweran pagi itu.

Paginya, ia kaget, lantaran banyak pasukan yang sedang steling di sekitar rumah, disertai beberapa panser. Di rumah Dr. Leimena,ada sosok terbaring ditutupi kain putih. Bahkan ketika mengantarkan anaknya, Naila ke sekolah, Rosihan Anwar mendengar berita tentang Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol Untung.

Berita mengenai penembakan M.T. Haryono yang didapatnya melalui telepon sontak membuatnya terperanjat. M.T. Haryono adalah teman diskusinya dikala senggang. "Kalau Haryono mati begitu, ini tentu PKI punya kerja. Ini kudeta PKI", ungkap Rosihan Anwar. Sehari penuh ia mencari informasi yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Bahkan didapatinya ada 6 perwira tinggi TNI telah menjadi korban peristiwa di malam 1 Oktober 1965. Sedangkan A.H. Nasution selamat dari upaya pembunuhan, walau anak perempuannya Ade Irma Suryani Nasution, gugur. Adalah suatu hal yang menyedihkan baginya, seorang sahabatnya turut menjadi korban. "M.T. Haryono telah tiada, tetapi bagi saya hari esok masih ada".

Demikian kiranya kisah yang diambil dari pengalaman Rosihan Anwar kala peristiwa tersebut meletus. Tentu dapat disimpulkan sendiri bagaimana kondisi bangsa kala itu, dengan ragam realitasnya. Dengan penilaian langsung oleh para saksi sejarah yang merekam jelas bagaimana kisah ini dapat kemudian dituliskan kembali, sebagai sarana reflektif.

Salam damai, terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun