Fenomena tersebut ternyata masih berkaitan dengan gaya hidup workaholic atau gila kerja. Yang mana dikenal dengan istilah performative workaholism.Â
Performative sendiri mengacu pada sebuah tindakan yang ditujukan kepada khalayak dengan sengaja agar mendapatkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.Â
Sedangkan workaholism seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengacu pada paksaan atau kebutuhan yang tidak dapat dikendalikan untuk terus menerus bekerja (Oates, 1971).Â
Sehingga performative workaholism, merupakan kegiatan bekerja terus menerus yang kemudian diperlihatkan secara sadar kepada orang lain untuk mendapatkan tanggapan. Dan lewat media sosial banyak orang menyebarkan aktivitas workaholic yang dilakukan.
Sehingga saat ini media sosial dipenuhi cerita baik foto maupun video berupa tumpukan berkas, layar komputer, rapat, lembur dan lainnya. Sehingga seperti tidak ada kehidupan lain, yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja.Â
Sebenarnya sah-sah saja dan tidak masalah membagikan kesibukan kerja dimedia sosial. Tetapi dorongan untuk terus bekerja demi sukses dan juga berburu tanggapan berupa pujian dari orang lain yang mendatangkan dampak buruk.Â
Meski terlihat sibuk atau benar-benar sibuk di negara +62 dianggap sebagai hal yang luar biasa dan dinormalisasi. Fenomena tersebut terjadi karena stigma ' orang sibuk sama dengan produktif. Namun pada kenyataannya tidak demikian, itu hanya stereotip yang diciptakan media sosial dan juga lingkungan masyarakat.
Perkembangan teknologi dan terciptanya ruang maya yang sering disebut media sosial berperan besar melanggengkan gaya hidup performative workaholism.Â
Dengan mengekspos kesibukannya ada harapan mendapatkan feedback dari orang lain. Meski workaholic pada mulanya adalah gaya hidup yang tidak sehat karena mengesampingkan waktu istirahat tetapi saat ini menjadi hal wajar.Â
Karena semakin banyak orang yang melakukan hal demikian dan akhirnya menjadi budaya. Bahkan bagi mereka yang tidak memposting kesibukannya membuat orang lain berpikir ia tidak melakukan apa-apa.Â
Paparan yang diterima masyarakat dari berbagai media sosial baik dari postingan pejabat, artis, pengusaha juga menjadi faktor dinormalisasinya fenomena tersebut.