Pernah mendengar kalimat ini "kerja, kerja, kerja ujung-ujungnya tipes" atau "kerja sewajarnya, kalau sakit atau sampai meninggal keluarga yang sedih, kantor tinggal cari karyawan lagi".
Kalimat-kalimat tersebut sering dijadikan meme di media sosial. Dan ada kaitannya dengan istilah hustle culture yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini oleh generasi muda dan Z.Â
Meskipun sebenarnya fenomena ini pertama kali muncul tahun 1971. Hustle culture sendiri adalah gaya hidup seseorang harus berkerja terus menerus demi mencapai kesuksesan, dan meluangkan sedikit waktu untuk istirahat. Fenomena ini juga disebut gila kerja/workaholic dikalangan masyarakat.
Gila kerja/workaholic sebagai bagian dari gaya hidup ini booming diberbagai negara dan lapisan masyarakat. Contohnya di Negara Jepang, 67% karyawan memilih untuk bekerja meskipun dihari libur sedangkan hanya 33% karyawan yang memafaatkan cutinya.Â
Di China dikenal istilah 996 yakni bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, selama 6 hari berturut-turut. Ada satu hari libur dalam seminggu, dan tidak menutup kemungkinan notifikasi kerjaan muncul pada saat itu.Â
Sedangkan di Indonesia, istilah workaholic ini menjadi booming karena pola pikir yang berkembang bahwa kerja keras tanpa henti adalah syarat kesuksesan.Â
Bahkan ada pepatah mengatakan "hasil tidak akan mengkhianati proses", kemudian keinginan kuat finansial sedini mungkin atau karena sifat ambisius. Sehingga banyak orang terjebak workaholic dan akhirnya fenomena tersebut dianggap sebagai hal yang biasa saja.
Semakin lama fenomena workaholic menjadi sesuatu yang wajar atau dinormalisasi oleh masyarakat. Terbukti dengan tuntutan perusahaan dan deadline yang menumpuk serta jam kerja yang berlebihan, kini dirasa bukan suatu masalah.Â
Banyak orang merasa bangga dengan kesibukan yang dilakukan baik dalam pekerjaan maupun aspek lainnya. Bahkan, merasa bangga ketika ada yang mengatakan "wah, sekarang super sibuk ya, aku lihat di media sosialmu".Â
Pertanyaan tersebut sering diberikan seiring masyarakat yang suka memposting aktivitas mereka. Atau dapat dikatakan masyarakat kini memiliki kebiasaan mempublikasikan kesibukannya dimedia sosial. Dengan tujuan, memberitahukan pencapaiannya atau sekedar tidak ingin dianggap sebagai seseorang yang malas.
Fenomena tersebut ternyata masih berkaitan dengan gaya hidup workaholic atau gila kerja. Yang mana dikenal dengan istilah performative workaholism.Â
Performative sendiri mengacu pada sebuah tindakan yang ditujukan kepada khalayak dengan sengaja agar mendapatkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.Â
Sedangkan workaholism seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengacu pada paksaan atau kebutuhan yang tidak dapat dikendalikan untuk terus menerus bekerja (Oates, 1971).Â
Sehingga performative workaholism, merupakan kegiatan bekerja terus menerus yang kemudian diperlihatkan secara sadar kepada orang lain untuk mendapatkan tanggapan. Dan lewat media sosial banyak orang menyebarkan aktivitas workaholic yang dilakukan.
Sehingga saat ini media sosial dipenuhi cerita baik foto maupun video berupa tumpukan berkas, layar komputer, rapat, lembur dan lainnya. Sehingga seperti tidak ada kehidupan lain, yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja.Â
Sebenarnya sah-sah saja dan tidak masalah membagikan kesibukan kerja dimedia sosial. Tetapi dorongan untuk terus bekerja demi sukses dan juga berburu tanggapan berupa pujian dari orang lain yang mendatangkan dampak buruk.Â
Meski terlihat sibuk atau benar-benar sibuk di negara +62 dianggap sebagai hal yang luar biasa dan dinormalisasi. Fenomena tersebut terjadi karena stigma ' orang sibuk sama dengan produktif. Namun pada kenyataannya tidak demikian, itu hanya stereotip yang diciptakan media sosial dan juga lingkungan masyarakat.
Perkembangan teknologi dan terciptanya ruang maya yang sering disebut media sosial berperan besar melanggengkan gaya hidup performative workaholism.Â
Dengan mengekspos kesibukannya ada harapan mendapatkan feedback dari orang lain. Meski workaholic pada mulanya adalah gaya hidup yang tidak sehat karena mengesampingkan waktu istirahat tetapi saat ini menjadi hal wajar.Â
Karena semakin banyak orang yang melakukan hal demikian dan akhirnya menjadi budaya. Bahkan bagi mereka yang tidak memposting kesibukannya membuat orang lain berpikir ia tidak melakukan apa-apa.Â
Paparan yang diterima masyarakat dari berbagai media sosial baik dari postingan pejabat, artis, pengusaha juga menjadi faktor dinormalisasinya fenomena tersebut.
Banyaknya orang yang menjadi performative workaholism karena zaman membawa kita pada kebutuhan akan validasi dari seseorang. Sehingga mengaburkan motivasi kerja yang sesungguhnya antara ingin bekerja untuk masa depan atau mencari validasi saja.Â
Keinginan akan validasi ini muncul karena sering membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Hingga tanpa sadar masyarakat berlomba-lomba mengais validasi.Â
Selain itu performative workaholism dilakukan sebagai usaha untuk eksis di media sosial. Keberadaan atau eksistensi ini menjadi kebutuhan masyarakat seiring berkembangnya teknologi.Â
Sayangnya usaha keras mencari atau mempertahankan eksistensi, menjadikan orang melupakan esensi yang seharusnya. Dan pada akhirnya terlalu sibuk mencari validasi dan eksistensi melupakan dampak buruk dari performative workaholism.
Dampak buruknya pertama bagi kesehatan fisik, bekerja terus menerus dengan porsi istirahat yang sedikit memiliki peningkatan risiko penyakit jantung. Hasil tersebut merupakan penelitian yang dilakukan leh Current Cardiology Report dibeberapa negara.Â
Dilansir dari laman FK Universitas Airlangga, di Indonesia 1 dari 3 pekerja mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebihan. Performative workaholism sering menyebabkan depresi, kecemasan dan halusinasi.Â
Depresi terjadi ketika sudah memposting kesibukan tetapi tidak mendapatkan like yang banyak, atau tidak ada tanggapan dari orang lain. Terkadang memicu munculnya pikiran 'sudah tidak diakui keberadaannya' atau 'sudah tidak menarik/eksis".Â
Bekerja yang berlebihan tadi juga menyebabkan burnout, stress berat ditempat kerja yang tidak teratasi dan menyebabkan hilangnya semangat kerja. Ditambah ekspektasi tanggapan dari postingan yang tidak sesuai, sehingga gaya hidup performative workaholism memberikan dampak negatif ganda.
Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pekerjaan ?
Kita berkerja untuk mencapai tujuan dengan diimbangi kegiatan diluar pekerjaan. Misalnya waktu tidur cukup dan meluangkan waktu untuk liburan. Kemudian memahami bahwa bekerja multitasking membuat hasil kerja tidak efektif dan kreativitas tidak muncul serta berpengaruh pada kesehatan.Â
Selain itu juga memahami esensi dari bekerja itu sendiri apakah perlu mendapatkan validasi dari orang lain secara terus menerus. Bukankah hal tersebut semakin membuat lelah?
Validasi dari orang lain terkadang penting tetapi motivasi bekerja hanya untuk memperoleh pengakuan dan eksistensi diri nyatanya menambah beban kerja.Â
Menekankan pada aspek kesehatan dengan work life balance adalah salah satu cara agar tidak terjebak performative workaholism dan hustle culture.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H