Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Keteguhan yang Kurenungkan di Bawah Senja Skandinavia

15 Maret 2021   14:17 Diperbarui: 15 Maret 2021   15:26 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Es krim yang saya beli di Kopenhagen (Dokpri)

Kepada senja Skandinavia aku titipkan,
Terkaan acak yang tak kunjung pudar,
Tanpa penat meski beban t'lah menekan,
Rasaku tetap tak 'kan pernah hambar.

Di bawah senja Skandinavia aku teringat, perjalananku yang t'lah kutempuh sejauh ini. Yang seringnya juga aku lalui hanya dengan diriku sendiri.

Tak lengah kulihat orang-orang berlalu lalang. Berdua, bertiga, berempat, dan beramai-ramai. Tapi aku justru selalu senang jika aku hanya seorang diri. 

Meski tersesat kesana kemari dengan beban ransel berkilo-kilo dan berjalan kaki di keramaian hingga hari gelap, tak apa. Aku selalu berusaha menjaga diri dengan baik. Waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Gunting kuku dan semprotan merica selalu jadi andalanku kemana-mana. Agar tak ada lagi yang meremehkan hobiku bersolo wisata meski aku seorang perempuan. Dan tak ada lagi yang meragukanku untuk bepergian seorang diri meski aku seorang perempuan.

Senja yang temaram di Kopenhagen (Dokpri)
Senja yang temaram di Kopenhagen (Dokpri)
Menyeberangi daratan Jerman dari Hamburg dengan Flixbus dan bertemu dengan berbagai orang asing lainnya di kapal penyeberangan menuju Skandinavia, aku tak apa meski hanya seorang diri. Meski postur dan penampilanku pun berbeda dengan orang-orang Eropa di sana, aku tak apa.

Meski polisi-polisi Denmark dengan posturnya yang tinggi dan tegap mulai memeriksa kelengkapan dokumen di dalam Flixbus sesampainya di perbatasan, tak apa. Aku tak gentar meski aku bukan warga Eropa. Toh, aku punya resident permit ku, meski pasporku adalah paspor Indonesia.

Tak sedikitpun aku merasa kerdil atau ingin berlari. Kalaupun ingin berlari, aku hanya ingin segera berlari hingga Skandinavia, agar perjalananku tak terhenti hanya sampai disitu.

Sama seperti mimpi-mimpiku yang lain, tak pernah sekalipun aku gentar atau takut dan berlari menjauh meski yang lain tak mendukungku. Aku hanya terus berlari dan berlari tanpa lelah ke arahnya.

Meski tak tahu entah kapan aku akan sampai, tapi aku tahu jika aku hanya harus terus berlari dan berlari tanpa pernah aku menyerah.

"Mimpimu ketinggian", kata seorang teman perempuanku saat kami masih sama-sama di bangku SMA dua belas tahun yang lalu. Tapi tak kuhiraukan apa yang dia bilang. "Siapa dia ikut menentukan hingga setinggi apa aku berhak bermimpi?", batinku saat itu. "Lihat, aku t'lah di Skandinavia, seorang diri", lanjutku dua belas tahun kemudian.

Es krim yang saya beli di Kopenhagen (Dokpri)
Es krim yang saya beli di Kopenhagen (Dokpri)
Siang itu, Kopenhagen tak lagi terasa panas berkat es krim rasa mangga dan raspberry yang kubeli di area pusat kota.

Tak banyak yang kulakukan. Hanya berjalan tanpa tujuan sekedar untuk melihat keseluruhan isi kota di musim panas. Begitu saja, aku sudah bahagia. "Aku sudah sampai sini, lagi-lagi sendiri", aku hanya bisa membatin sambil tersenyum sepanjang perjalananku berjalan kaki siang itu.

Aku hanya menyempatkan mampir ke toko buku dan membeli sebuah kartu pos. Lagi-lagi, untuk kutuliskan ceritaku di sana dan kukirimkan pada diriku sendiri dengan alamat tinggalku di Kota Passau, Jerman.

Senja di Kopenhagen dengan bendera Denmark yang menjulang (Dokpri)
Senja di Kopenhagen dengan bendera Denmark yang menjulang (Dokpri)
Menang lotre!

Kurenungkan keberuntunganku, masih dibawah langit senja Skandinavia. Keberuntunganku yang membuatku seolah-olah aku memang menang lotre.

Memiliki keluarga yang mendukung segala keputusanku meski aku seorang perempuan. Tak pernah sekalipun membatasi ataupun mengekang apa yang kuinginkan untuk diriku sendiri di masa depan.

"Jangan lupa baca sholawat. Jangan lupa sholat", pesan ibuku setiap kali aku berkelana seorang diri. Tapi tak pernah sekalipun ibuku melarangku untuk pergi dan menjelajahi bumi ini.

"Bu, aku mau jadi ini, mau jadi itu. Mau kuliah di sini, mau kuliah di situ. Mau kerja di sini, mau kerja di situ", selalu kuutarakan keinginanku dengan gamblang. Tapi Ibuku tak pernah sekalipun menolaknya. Ibuku hanya selalu menjawab, "Ya terserah kamu", membuatku merasa aku memiliki kebebasan seutuhnya, meski aku seorang perempuan.

Aku tak bisa memungkirinya, jika aku memang seolah menang lotre memiliki dukungan sekuat itu.

Padahal saat kuputar kembali ingatanku, seorang teman perempuanku yang tak bisa meninggalkan kampung halamannya dan mengejar mimpinya yang lain karena ceritanya, "nggak dibolehin orang tua". Atau saat seorang teman perempuanku tak lagi bisa bekerja karena ceritanya, "setelah menikah nggak boleh bekerja". 

Tak ada yang salah. Setiap orang memang punya ceritanya masing-masing. Tapi aku memang seakan menang lotre, dengan Ibu dan keluarga yang selalu mendukung keputusanku.

"Ah, meski ini bukan senja di pantai Indonesia bagian Timur, senja Skandinavia terasa semakin sendu karena ingatan-ingatan itu", lanjut batinku sore itu.

Ingatan-ingatan yang membuatku berpikir, perempuan juga layak untuk bermimpi tanpa dihalangi kebebasannya. Dia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dia pun tahu, apa yang terbaik untuknya dan apa yang membuatnya bahagia.

"Alangkah indahnya jika setiap impian teman-teman perempuanku yang lain pun tak pernah ada yang membatasinya", pikirku berandai-andai.

Terus berlayar meski badai menerjang

Pemandangan Nyhavn, Kopenhagen, di musim panas (Dokpri)
Pemandangan Nyhavn, Kopenhagen, di musim panas (Dokpri)
Siang itu Nyhavn tampak sangat ramai dengan lautan manusia. Restoran-restoran pun penuh dengan para pelanggan yang menikmati teriknya siang itu dengan bersantap siang atau secangir kopi.

Tak lupa, kacamata hitam melengkapi penampilan mereka, pun juga denganku. Matahari memang terlalu terik siang itu, silaunya tak jarang cukup menyilaukan mata.

Kupandangi kapal-kapal yang terparkir di sepanjang pelabuhan. Kapal-kapal yang terdiam itu justru menambah riuh pemandangan Nyhavn dengan bangunan-bangunannya yang berwarna-warni.

"Kapal-kapal ini akan terus berlayar meski sedang terperangkap badai di tengah laut. Setidaknya, sang nahkoda akan terus berusaha menyelamatkan kapalnya yang terombang-ambing ombak ganas di lautan sana. Meki entah apa yang akan dihadapinya, setidaknya, segala upaya akan dilakukannya untuk menerjang badai", lamunku sambil terduduk diam di tepian Nyhavn.

Sama seperti perjuanganku hingga menginjakkan kaki di Skandinavia ini. 

Empat tahun berturut-turut aplikasi beasiswaku ditolak. Hingga dua dari dosenku pun tak lagi bersedia memberiku surat rekomendasi kala itu. Kuingatnya lagi samar-samar, aku pernah hampir menyerah, tak lagi ingin melanjutkan sekolah karena tak tahu bagaimana harus aku dapatkan surat rekomendasi itu. Aku masih ingat, menangis tersedu-sedu tanpa malu di depan dua kolegaku sore itu, tak tahu harus bagaimana lagi aku melangkah.

"Aku tak tahu lagi, apa masih ada yang bisa membantuku?", ingatku samar-samar.

Tapi aku tak ingin mengubur mimpi yang t'lah kupupuk sejak lama. Mimpiku akan terus hidup selama aku tak menguburnya.

Dan mimpiku harus tetap hidup, sekeras apapun badai menerjang. Seperti kapal-kapal yang akan terus menggerakkan layarnya meski terombang-ambing di lautan sana dengan ombak yang tak tentu.

"Dan aku t'lah di Skandinavia, seorang diri. Ternyata aku memang tak pernah menyerah", batinku lagi setelah kembali mengingatnya.

Beberapa jam kemudian, seorang lelaki paruh baya ternyata memperhatikanku yang sedari tadi sibuk mengambil gambar dengan kameraku. "Let me help you take your picture", katanya singkat seraya tersenyum.

Aku pun tersipu malu. Ternyata ada yang memperhatikanku mengambil swafoto seorang diri. Berkatnya, aku jadi punya foto yang layak sembari berdiri di tepian Nyhavn siang itu.

Aku kembali berjalan sambil tersenyum. Kembali merenungkan, "Selalu saja ada kebaikan dan pertolongan tanpa disangka-sangka di tengah-tengah perjalananku, meski kami tak saling mengenal".

Mungkin begitu juga seharusnya hidupku terus kuarungi, tak peduli meski aku seorang perempuan dan berjalan seorang diri, tak peduli seberapa tinggi dan mustahil impian-impian yang kumiliki menurut yang lainnya, pasti ada saja jalan dalam arusnya nanti. Entah dari arah mana datangnya, aku tak bisa terka. Aku hanya tahu bahwa aku hanya harus terus berjalan dan berlari tanpa lelah.

Kerikil yang mengganjal bukan penanda untuk berhenti

Den lille Havfrue (the little mermaid), Kopenhagen (Dokpri)
Den lille Havfrue (the little mermaid), Kopenhagen (Dokpri)
Aku kembali menghabiskan siangku dengan menikmati hembusan angin sepoi-sepoi di tepian Langelini, Kopenhagen. Di sinilah patung the little mermaid berada, yang tempatnya selalu saja ramai oleh wisawatan hanya untuk berfoto dengan si putri duyung ini.

Aku pun teringat pada dongeng si putri duyung akan mimpinya menjadi manusia. Jalannya sudah pasti tak mudah dilalui. Tapi toh, dia berhasil mendapatkan kaki manusia yang diidam-idamkannya, dan bertransformasi menjadi manusia seperti yang diinginkannya.

"Begitu seharusnya aku dan mimpiku. Tak kalah oleh kerikil-kerikil kecil yang harus kulewati selama perjalananku", lamunku siang itu sambil kuingat lagi bagaimana hidup sendiri di negeri orang itu, ternyata tak mudah.

Kuingatnya lagi, siang hari yang lain di salah satu taman di kota yang sempat kutinggali. Aku berjalan bersama seorang teman perempuanku dari Nepal. Tapi di tengah perjalanan, seseorang meneriaki kami "migran!". Siang hari yang lainnya di kota yang lain, seorang anak usia remaja pun meneriakiku, "Hei migran, pergi kau!". Atau di suatu malam yang lain, masih bersama dengan teman Nepal ku, seseorang melemparkan kaleng bir kosong ke arah kami hingga kami melompat terperanjat.

Kuingatnya lagi samar-samar kerikil-kerikil kecil itu, meski menyakitkan tapi tak sampai membuatku berhenti dan menyerah dengan hidupku di negeri orang.

Meski aku berbeda dengan mereka yang lain, tak apa, karena aku tahu bukan mereka atau kerikil-kerikil itu yang akan menghentikanku. Tapi, akulah yang mengendalikannya, memutuskan untuk terus berjalan atau berhenti.

Meski jalannya tak mudah, tapi aku t'lah buktikan, aku masih juga bertahan meski kerikil-kerikil itu berusaha menghalangi jalanku.

Little mermaid di tepian Langelini,
Seperti kita,
Tak lelah mengejar mimpi,
Atau menyerah dengan sengaja.

Siang itu aku tak henti-hentinya bersyukur. Dengan diri ini yang tak terpikirkan untuk berhenti pada impian-impian yang t'lah lama dirangkaikan. "Ya, jika bukan aku yang berjuang, siapa lagi?", kataku.

"Tak apa meski aku perempuan dan seorang diri. Selama aku tak berhenti melangkah, aku tak kan pernah kalah", lanjutku.

Kalau Ibuku selalu bilang, "Pantang kalah sebelum berperang".

*****

Teruntuk para Ladiesiana, jangan menyerah dengan mimpi-mimpimu. Meski terlahir sebagai perempuan, bukan berarti tak bisa bermimpi dan berjuang semau kita. Karena akan selalu ada jalan yang terbuka saat kita mau untuk terus berusaha. Meski jalannya tak mudah dan dukungan tak kerap didapatkan, ingatlah hanya diri kita yang bisa putuskan, terus melangkah atau berhenti dan menyerah. Orang lain bisa saja menghakimi dan mencerca, tapi kita memegang kendali impian kita, sejauh apa kita akan berjalan dan berlari.

Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun