Semua terlihat bahagia dengan hamparan sinar matahari di setiap harinya. Taman-taman dan sungai-sungai mulai penuh dengan gerombolan muda-mudi yang menikmati sinar matahari hangat sepanjang harinya.
Musim panas rasa-rasanya adalah musim ramai manusia di luaran. Banyak juga festival-festival yang diadakan di musim panas. Pun langit pukul 10 malam masih terlihat sangat cerah, membuat aktivitas muda-mudi semakin panjang di luaran sana.
"Tak ada yang aneh", pikir saya lagi. "Orang-orang hanya terlihat lebih bahagia, bersemangat, dan ceria di musim panas", lanjut saya lagi. Tapi, hey, itulah sebabnya!
Sesuatu yang menarik mulai terbersit di benak saya saat hawa dingin musim gugur mulai datang dan perlahan menggantikan teriknya matahari musim panas. Orang-orang kembali berlalu-lalang dengan pakaian musim dingin (jaket tebal, syal di leher, sepatu boots, topi rajut, dan sarung tangan). Saya pun mulai harus beradaptasi lagi dengan hawa dingin yang kali ini jauh lebih dingin daripada saat pertama kali saya tiba.Â
"Ternyata syal itu berguna bukan hanya untuk menghangatkan leher, tapi juga bisa menutupi mulut dan hidung saat di jalanan (seperti halnya masker) agar tidak sulit untuk bernapas karena dinginnya udara. Hidung jadi tidak mampet!" saya menarik kesimpulan.
Tapi, lebih menarik lagi, mengamati raut wajah orang-orang yang saya temui di jalanan dan di dalam bus, tram, ataupun subway. "Hmm, tatapan yang dingin", batin saya.
Dengan kedua mata awam saya, tak banyak keceriaan yang bisa dilihat seperti ketika musim panas datang. Tak banyak pula yang bercakap-cakap seperti di musim panas. Tak banyak interaksi yang terjadi di dalam transportasi umum dan semakin sedikit senyum yang bisa saya lihat di luaran. "Hmm, menarik", pikir saya lagi.
Hingga suhu semakin dingin mencapai minus, dan saya pun mengalaminya sendiri. Sembari menunggu bus untuk berangkat ke kampus, tidak ada sama sekali keinginan dari saya untuk membuka mulut dan menyapa teman saya dengan senyum lebar. Kami hanya mampu berkata "hi, how are you?". Rasanya itu saja sudah cukup.
Semakin berbicara dan membuka mulut, semakin hawa dingin terasa di badan ini. Daripada sibuk berkata-kata, lebih baik saya fokus menghangatkan diri dengan menyelipkan kedua tangan di dalam saku jaket dan menutupi separuh mulut saya dengan syal.
Jika salju turun dengan derasnya, saya tambahkan lagi untuk memasang topi jaket di kepala saya dan tak lagi tertarik menoleh ke kanan dan ke kiri.Â