Ekranisasi Cerpen “Alak Paul”
PUNAHNYA KEBUDAYAAN MATINYA PERADABAN
oleh:
Novi Dini Aldiani
Tempat yang sangat jauh dan tidak mungkin untuk dijangkau. Kira-kira seperti itulah salah satau faktor bila kita berbicara mengenai kepunahan. Tentu saja semua berharap segala yang menjadi identitas itu akan terus hidup meski waktu dan posisi tidak lagi sama.
Saat seseorang pergi ke tempat yang sangat jauh hingga sulit untuk dijangkau sekalipun, kami semua menaruh harapan besar agar orang tersebut tidak lupa siapa dia sebenarnya. Inilah Alak Paul salah satu peribahasa Sunda yang terus dikembangkan agar tidak mengalami kepunahan.
Alak Paul merupakan salah satu peribahasa Sunda yang diangkat ke dalam sebuah cerpen oleh seorang seniman asal Garut. Yari Jomantra atau lebih dikenal dengan panggilan Ari Kpin adalah salah satu penggiat seni, komposer, instruktur musik, penulis buku musikalisasi puisi (Tuntunan dan Pembelajaran), pemain dan anggota Indonesian Philharmonic Orchestra, pencipta lagu Mars dan Hymne Politeknik Negeri Bandung dan konsultan ahli KGF.
Selain itu Ari Kpin juga menyalurkan hobinya dalam bermusik dengan membuat konten "Lalaguan Malam Sabtuan" yang beliau share ke youtube dengan channel pribadinya yakni Ari Kpin. Kurang lebih sudah ada 11 album yang dibuat dari karya musikalisasi puisi.
Kehebatan Ari tak usai sampai di situ, beliau pun juga diundang ke beberapa kota dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya dan menjadi instruktur pelatihan sastra salah satunya diklat Membaca Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS).
Tak heran jika dilihat dari latar belakangnya, Ari Kpin dengan kreatifitasnya memodifikasi sedemikian rupa peribahasa tersebut dengan cara mengembangkan baik isi dan bentuk dari peribahasa menjadi sebuah cerpen. Ternyata tidak hanya satu peribahasa saja yang Ari Kpin cerpenkan, melainkan terdapat 100 peribahasa Sunda yang telah berhasil beliau cerpenkan.
Sehingga cerpen-cerpen tersebut dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul "Ngalalakonkeun Peribahasa Sunda", namun buku tersebut belum diterbitkan. Meskipun buku tersebut belum diteribtakan tetapi itu adalah salah satu karya Ari Kpin yang sangat luar biasa dan semoga dalam waktu dekat ini buku tersebut segera terbit agar masyarakat umum bisa menikmatinya.
Ari Kpin juga merupakan salah satu penggiat seni yang aktif dalam komunitas JAMUGA. Sebelum terbentuknya JAMUGA, orang-orag yang kini sebagai pengurus atau pun anggota dari komunitas tersebut adalah seseorang yang berpikir tentang realitas kehidupan masyarakat dan mempunyai perhatian besar terhadap sebuah peradaban suatu kebudayaan.
Selain itu mereka juga didukung dengan kemampuan dalam bidang yang berbeda-beda terutama dalam bidang kesenian. Maka dari itu karena mereka memiliki visi, misi dan tujuan yang sama maka terbentuklah suatu komunitas bernama JAMUGA. Tujuan dari komunitas tersebut adalah untuk memperbaiki peradaban umat manusia dan peradaban suatu kebudayaan.
Komunitas ini diketuai oleh Ari Kpin sendiri dengan wakil ketua Dado Bima Sena. Sekretaris dari komunitas tersebut adalah Panji dan bendahara dipegang oleh Bunda Diana Ratna Inten. Itulah para petinggi dari komunitas seni JAMUGA.
Dalam mewujudkan tujuannya, JAMUGA memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk menyebar luaskan karya-karyanya. Salah satunya adalah dengan ekranisasi cerpen Alak Paul menjadi film pendek yang dapat diakses melalui youtube. Pembuatan film pendek tersebut disutradarai langsung oleh Ari Kpin.
Lokasi yang dijadikan latar tempat dalam film pendek ini adalah Desa Sukamurni yakni salah satu desa di daerah Garut yang masih terjaga keasriannya dan kaya akan kebudayaan Sunda yang masih melekat dengan penduduk setempat. Ari Kpin melibatkan seluruh penduduk desa dalam pembuatan film pendek ini.
Salah satunya adalah dengan menjadikan para penduduk desa sebagai aktor dan aktrisnya. Oky Lasminingrat berperan sebagai Ceu Empat, Diana Ratna Inten sebegai Ceu Nining, Lenny Noviani sebagai Ambu, Abah Zaenal sebagai Abah, Qiyan Ayuni Mustari sebagai Asih, Shela Salpa sebagai Euis, Dado Bima sebagai Bojeg Borejeg, dan Wa Ratno Sebagai Juragan Jarot. Selain aktor dan aktris yang teretera masih banyak para pemain lain yang diperankan oleh penduduk desa tersebut.
Film pendek Alak Paul ini menceritkan tentang seorang anak gadis bernama Euis yang hendak dijodohkan dengan seorang juragan tua kaya raya. Teman-teman sebayanya di kampung banyak yang telah berumah tangga bahkan sudah mempunyai anak.
Sehingga orang tua dari Euis, yaitu Abah dan Ambu ingin menjodohkan Euis dengan juragan Jarot. Karena Euis tidak menginginkan perjodohan tersebut maka Euis menyuruh adiknya untuk memanggil laki-laki yang Euis cintai. Akhirnya Kartadji datang dan membawa Euis pergi.
Di satu sisi ada rombongan juragan Jarot yang hendak datang ke rumah Euis tetapi mereka dirampok oleh Bojeg Borejeg dan kawannya. Sehingga terjadi perkelahian diantara keduanya. Juragan Jarot kalah dan jatuh ke sungai. Sementara itu Euis dan Kartadji berhasil melarikan diri ke tempat yang sangat jauh, Alak Paul.
Melihat fenomena perjodohan yang terjadi kepada Euis ternyata di dunia nyata pun masih terdapat beberapa kasus perjodohan yang sama. Salah satu faktor yang menjadi penyebab perjodohan tersebut adalah ekonomi. Alasan Abah dan Ambu menjodohkan Euis dengan Juraga Jarot karena Juragan Jarot merupakan orang yang kaya raya sehingga Abah dan Ambu tidak perlu khawatir lagi dengan masa depan Euis.
Begitu pun dengan orang tua yang mempunyai pemikiran kolot seperti Abah dan Ambu, maka dengan segala usahanya ingin menjodohkan anaknya dengan laki-laki pilihan mereka tanpa peduli apakah laki-laki tersebut sudah tua atau pun hanya sekedar memikirkan perasaan sang anak yang tidak menginginkan perjodohan tersebut.
Padahal mungkin saja anaknya telah memiliki laki-laki yang dicintai, sehingga tidak jarang dari mereka lebih memilih untuk pergi atau kabur dari orang tuanya agar bisa menghindari perjodohan tersebut.
Selain itu nilai-nilai kebudayaan Sunda yang masih sangat terasa seperti halnya saat Juragan Jarot dan rombongannya yang hendak pergi ke tempat Euis dengan membawa banyak makanan khas. Kira-kira seperti itulah gambaran masyarakat kampung khususnya masyarakat Garut saat mengadakan hajat atau acara spesial.
Mereka selalu menyajikan makanan khas atau makanan tradisional setempat sebagai perjamuan dan penghormatan bagi tamu. Garut juga terkenal dengan domba, sehingga salah satu seserahan yang dibawa rombongan Juragan Jarot adalah domba dan tidak jarang masih terdapat masyarakat yang menjadikan binatang sebagai sebuah hadiah.
Selain itu kostum juga menggambarkan keadaan masyarakat yang tinggal di pedesaan bahwa masih terdapat masyarakat yang menggunakan baju tradisional seperti kebaya dan samping dengan model span bagi wanita. Pangsi, peci, dan sarung yang diselempangkan bagi laki-laki.
Aktifitas masyarakat pedesaan juga tergambar sangat nyata dalam film pendek tersebut dan aktifitas seperti itu mungkin saja masih terjadi saat ini. Gema tawa anak-anak yang berenang di sungai, ricuh riuh ibu-ibu yang mencuci sambil berbincang hingga bergosip di tepian sungai, bapak-bapak yang rajin pergi ke tajug (mesjid kecil di pedesaan), dan rutinitas memberi makan ternak.
Ekranisasi cerpen Alak Paul secara keseluruhan menggambarkan situasi dan kondisi daerah setempat yang masih kaya baik itu alamnya atau pun adat istiadat dan kebudayaannya. Tokoh Euis yang anggun dan digambarkan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua terlihat saat Abah dan Ambu membicarakan tentang perjodohan, Euis tidak membantah dengan meninggikan suaranya.
Padahal di dalam hati Euis berontak, dia tidak mau bila dijodohkan dengan Juragan Jarot. Sehingga Euis memilih untuk pergi bersama dengan laki-laki yang dicintainya meninggalkan orang tuanya demi menghindari perjodohan itu. Sehingga Ambu menyesal sudah berencana untuk menjodohkan anaknya.
Dalam proses pembuatan film pendek tersebut semua orang yang terlibat berusaha mengerahkan segala kemampuannya sehingga proses pembuatannya hanya memerlukan waktu satu hari saja. JAMUGA Cinema memiliki ide yang sangat kreatif dan brilian dalam memilih teknologi untuk pengambilan gambar.
Mengapa? Karena JAMUGA lebih memilih menggunakan handphone dibandingkan kamera yang lebih canggih. Hal tersebut bukan karena JAMUGA tidak memiliki kamera, tetapi JAMUGA ingin sekaligus mengedukasi masyarakat setempat bahwa untuk berkarya tidak harus menggunakan alat-alat yang lebih canggih bahka hanya dengan menggunakan handphone saja bisa dan pasti mayoritas dari masyarakat setempat sudah memiliki handphone.
Niat JAMUGA dalam berkarya sangatlah patut untuk diacungi jempol karena mereka berkarya bukan hanya untuk meraup popularitas, tetapi mereka ingin mengembangkan dan melestraikan kebudayaan Sunda.
Ketika JAMUGA Cinema hendak melakukan pengambilan gambar, konsep atau tema yang mereka usung disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat tersebut dengan tujuan agar tidak merepotkan tuan rumah dan juga bisa mengangkat karifan lokal dari tempat tersebut. Kemampuan para warga yang berperan dalam film tersebut terlihat natural karena sutradara membebaskan dialog saat mereka beakting.
JAMUGA Cinema berhasil melakukan sebuah ekranisasi dengan melalui proses yang sangat panjang. Di awali dengan sebuah peribahasa lalu dibuat cerpen dan kemudian cerpen tersebut divisualisasikan agar lebih mudah untuk dipahami.
Cara JAMUGA Cinema memvisualisasikan Alak Paul adalah cara tepat untuk melestarikan peribahasa dan kebudayaan Sunda yang hampir punah ditelan pesatnya perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H